Pada hari itu, saya berada di ruang jurusan bersama 2 orang teman saya, Zia dan Misrijal. Kami sedang membuat laporan untuk lab. Tapi, saya dan Misrijal sudah selesai, saya menonton film dan Misrijal bercerita.
Saya sambil membaringkan kepala saya di meja, karena ngantuk dan lelah sekali. Saya merasa, seperti ada yang bergoyang, kecil. Saya pikir ah, itu mungkin karena saya kecapekan, pusing, atau mungkin itu suara ban truk di luar sana ( ga sadar, bahwa tidak pernah ada truk masuk dalam kawasan kampus ).
Saya mengabaikan itu, dan diam.
Tiba-tiba staff di jurusan, bertanya dengan nada panic,
‘’dek, gempa ya?’’
Sontak, saya, Zia dan Misrijal bangun dan keluar. Saya sempat melihat suasana di dalam ruangan karena yakin gak yakin. Saya melihat kipas angin di atas bergoyang-goyang dan terdengar suara gemuruh.
Misrijal menyuruh kami cepat keluar,
Zia mempersiapkan semua barangnya dan dia sempat membawa tasnya keluar. Saya bingung, barang-barang saya berserakan di meja, notebook, laporan, kotak pensil, semuanya di luar tas. Satu benda yang saya ambil, hanyya HP, saya rasa, ini yang paling penting. Saya tidak memikirkan barang-barang itu lagi, begitu juga Misrijal yang laptopnya saya pinjam untuk menonton tadi, masih menyala.
Kami keluar ( Alhamdulillah di lantai 1 ruangannya ).
Di luar, sudah rame orang berkumpul dengan ekspresi panic, baik panic terang-terangan maupun panic tersembunyi ( kayak saya, zia ).
Saya terus memegangi Zia yang pucat, namun tetap diam dan santai. Tangannya bergetar.
Saya dan kami, melihat dari luar gedung kampus bergoyang.
Saya speechless.
Baru kali itu saya melihat gedung bergoyang seperti mainan.
Zia mengajak saya keluar gerbang dan pergi. Saya tidak tau pergi kemana.
Tampak wajah Zia begitu panic dan kebingungan. Sejak saya melihat gedung itu, sontak saya mengucap 2 kalimat syahadat. Pikiran saya sudah buruk, namun tidak bagi hati saya. Ia begitu tenang dan menenangkan saya, bahwa, ‘’semuanya baik-baik saja..’’
Saya masih terus memegangi Zia –yang kebingungan dan pucat-.
Saya bertanya ragu,
‘’Zia...,ts..tsunami ga?’’
Sebenarnya saya malas mempertanyakan itu.
‘’Gak.....gak.....’’ Ucap Zia panic yang ditutupi dengan ketenangannya.
Melihatnya tenang seperti itu, membuat saya juga ikutan tenang.
‘’Tapi.......potensi..’’ sambungnya.
GubraKKk.
Saya kembali down. -__-‘’
Memang sih potensi,
Kuat kali soalnya gempanya. ( Baru kali itu saya merasakan gempa lumayan kuat ).
Saya membuka HP, buka Internet dan yang dibuka FB -__-‘’
Tapi Alhamdulillah, yang keluar duluan di wall saya adalah yahoo, yang mengatakan bahwa gempanya berkekuatan 8,5 SR.
Oh Tuhan,..
Saya bertanya lagi pada Zia,
‘’Zia, gempa yang lalu, berapa SR??’’
Sepertinya Zia masih panic dan dia dengar gak dengar apa yang saya tanya.
(Saya juga sih salah, keadaan kayak gitu, tanya2 )
‘’9 kalo ga salah…’’
Mendekati, pikir saya.
Gempanya cukup lama.
Saya bertemu teman-teman saya yang lain. Kami duduk.
Saya duduk dekat gedung. Udah memikirkan berbagai cara, kalo kalo…
‘’Zia...., tsunami, sampe sini?’’
Tanya saya sambil menunjuk kampus.
Jujur, ketika bertanya tentang tsunami, pikiran saya kacau dan saya malas sekali mempertanyakan itu.
‘’Iya…’’ ucapnya.
Saya berniat, akan berlari ke lantai 3 kalau kalau….
‘’Zia, jangan pisah dariku..’’ ucap saya spontan.
Zia senyum.
…
Saya bertemu Dewi yang masih memakai pakaian Lab karena tadi masuk lab.
Mukanya lumayan santai dibanding yang lain.
‘’Gimana?’’ tanya saya.
Dia cuma senyum.
‘’Belum seberapa dibanding gempa yang lalu…’’ ucapnya santai.
‘’Emangnya gempa yang lalu gimana?’’ tanya saya semakin penasaran.
Emang ya, kalo udah ngerasain sendiri, rasa ingin tau untuk mencari informasi sangat kuat.. -_-‘’
‘’Yang lalu, kuat banget. Kita ga bisa berdiri. Kalo kita berdiri, kita terkoyong-koyong. Mual, pusing..
Kayak kiamat..tadi dewi pikir hari ini hari Jumat…’’ ucapnya.
Saya menelan ludah.
Ini Rabu..ini Rabu.. Pikir saya.
Kami terus membahas gempa ini sampai adzan ashar.
Kami ke mushalla untuk shalat dan saya melihat mushalla penuh dan banyak teman saya yang menangis. Walaupun ada juga yang ekspresinya flat banget -_-‘
Usai shalat, kami duduk menenangkan diri.
Ada yang membaca Al Quran, Dzikir, dan lain-lain.
Beberapa menit kemudian, terdengar teriakan dari luar.
Saya gak tau kenapa, hanya saya saya berlari keluar meninggalkan semua teman saya.
Saya hanya ingin mengetahui keadaan.
Pikiran saya benar-benar kacau. Cuma dua hal ketika itu,
Tsunami, atau ada yang kecelakaan.
Saya keluar mushalla dan melihat banyak sekali kendaraan dan mobil yang jalan kearah utara.
Saya melihat kearah selatan, saya melihat awan yang saya pikir itu adalah air.
Pikiran saya benar-benar kacau namun sekali lagi, tidak bagi hati saya. Ia terus menenangkan saya bahwa, semua baik2 saja, dyah…’’
Saya menunggu teman saya yang lain.
‘’Hey, kemana? Dicarii..’’ ucap teman saya.
‘’Cuma mau liat keadaan, aku pikir tsunami…’’ ucap saya.
Tapi memang semua panic, rata-rata lari ke Blang Bintang ( tempat tertinggi ) dan saya lebih memilih naik lantai 3 gedung kampus. Wallahu alam.
Memang ada kabar dari BMKG tentang potensi dan warning tsunami.
Soalnya di Sabang, sudah kena.
Saya menelpon bapak saya,
Dengan santai beliau berucap,
‘’gempa? Oh..jangan di tangga, jangan dibawah meja. Berdiri di sudut ruangan dan cari yang bangunannya kira-kira paling kokoh..’’
‘’Ini di luar, pak…’’
‘’oh, kalo di luar ya ga masalah..’’
GUBRAKSS. -__-‘’
Emang yah, gueh, bokap gueh..paten banget.
…
Saya jujur, ga berani pulang ke rumah. Karena kalaupun pulang, kalaupun tsunami ( naudzubillah ), rumah saya kena.
Saya terus bersama teman saya yang lain di halaman mushalla.
Jujur, saya ngantuk sekali. Saya sempat tertidur sebentar.
Dan terjadi gempa lagi yang lumayan kuat, setelah tau, ternyata 8,1 SR.
Semua keluarga di Medan menelpon dan agh, HP saya mati. ><
Dan pada saat itu, Telkoms*l jaringannya mati.
Saya pake Indos*t dan jaringannya bagus. Lampu juga padam.
Banyak teman-teman saya yang panic, ga bisa menghubungi keluarganya.
Saya dapat melihat, yang sudah pernah merasakan tsunami yang lalu, sangat trauma dan bergetar.
Saya yang baru kali ini ya tidak tau apa-apa.
Saya hanya percaya kata hati saya, ‘’semuanya baik-baik saja…’’
Sampe malam, saya bersama teman-teman saya.
Pada saat itu juga, saya menurunkan gengsi untuk menyapa orang yang saya gengsiin. -___-‘’
Saya mau minta maafla, kematian ga ada yang tau kapan.
Dari kejadian gempa ini, saya trauma.
Trauma bukan karena gempa.
Saya trauma mendengar orang berteriak selama 2 hari. Parno sendiri.
Setiap dengar teriakan (apapun itu), saya langsung siaga (-____-‘’ )
Oh Allah, semoga ini teguran termanismu,
Lindungi kami dan matikan kami dalamkeadaan berserah diri padaMu. Amin allahumma Amin,.
@diyasang
0 komentar:
Posting Komentar