No Perfected!
Namanya Sachstra Hadi Bhijaya. Seorang anak perempuan yang dikagumi para guru karena kecerdasannya. Di kejar-kejar para kaum Adam karena kecantikannya dan sosoknya didambakan para kaum Hawa di sekolah. Walaupun tulisan namanya agak susah, tapi ia tetap dipanggil Sastra. Apa mungkin karena ayahnya seorang sastrawan. Hm..
Sastra adalah anak yang pintar, baik, aktif, dan berprestasi. Sudah banyak piala yang disumbangkannya ke sekolah. Mulai dari piala juara cerdas-cermat, olimpiade, maupun juara tari dan lukis. Otak kanan dan kirinya bekerja sangat kompak dan baik. Pantaslah dia begitu didambakan di sekolah. Tubuhnya yang dianugerahi Allah yang begitu proporsional, kulit putih, hidung mancung , mata bening, bibir merah ditambah senyumannya yang begitu memikat. Begitu juga dengan kekayaan keluarga yang dibilang cukup mewah. Sungguh, nyaris sempurna!
Tapi, walaupun begitu, Sastra adalah anak yang sederhana. Ketika banyak yang menagatakan, ” Kau sempurna, Sas!”. dengan santai dan senyum ia menjawab, ”Hei,,no perfected! Percayalah...”.
Ia tidak pernah sombong atas kekayaan, kecantikan maupun kepintaran yng dianugerahkan padanya. Sebenarnya, jika dilihat dari mata hati, bukanlah fisiknya yang sempurna atau pemikirannya yang cerdas yang membuatnya dikagumi dan menjadi sosok inspirasi –walaupun sebagiannya memang mempengaruhi-. Tetapi karena semangat dan pantang mundurnya. Semangatnya dalam belajar dan menuntut ilmu patut diacungi jempol. Keambisiusannya dalam meraih cita-cita benar-benar membuat decak kagum.
Pernah suatu hari, ketika ujian Matematika, ia mendapat nilai di bawah rata-rata. Ini membuat teman-teman sekelasnya gaduh, begitu juga dengan gurunya. Ada apa gerangan? Seorang Sastra mendapat nilai 50 untuk Matematika? Yang biasanya nilai rentangnya 85-100. Ketika teman-temannya memberi komentar tentang itu, dengan santai dia menjawab, ”Nilai 50 bukan berarti aku sudah mati kan? Dunia belum berakhir kok! Ini Cuma perbuatan bodoh yang harus diselesaikan dan diperbarui kedepannya. Masih banyak kesempatan...”. Dan, kata-kata dia memang bisa dipegang. Ujian selanjutnya, ia mendapatkan nilai tertinggi di kelasnya.Ckckck..!
Sastra –bisa dibilang- sudah kebal terhadap pujian-pujian yang dilontarkan kepadanya, baik dari kalangan guru, teman-teman, tetangga dan lainnya. Tapi, ia juga bukan oorang yang menutup telinga terhadap kritikan-kritikan yang juga memanaskan telinga. Yah, wajarlah, kalau sosok seperti Sastra banyak yang iri. Malah, dengan bijaknya ia menganggap kritikan-kritikan itu sebuah bahan bakar untuk perbaikan diri. Ya, selama ini, hampir tidak ada masalah hidupnya.
Ditanya soal cita-cita, Sastra ingin menjadi Psikiater. ”Aku ingin merasakan apa yang diasakan orang-orang depresi itu dan aku ingin membantu mereka meringankan masalahnya.” Itu stetmennya ketika ditanya alasan. Memang, di mata teman-temannya, Sastra adalah anak yang supel dan enak dijadikan tempat curhat dan ngobrol. Kata-kata ajaibnya mampu merubah keadaan yang tadinya sedih , 180 derjat berubah jadi senang bak baru dikasi mobil, rumah, dan hadiah-hadiah menggiurkan. *Wew..memang kesenangan seperti itu y?-
Dari yang putus asa dan mau bunuh diri, langsung tobat dan tersenyum semeriwing,.. *mungkin yang ini agak hiperbola-. Tentu saja, cita-cita itu akan ku genggam! Aku akan masuk ke universitas luar negeri ternama! Harus!”. Yaah, begitulah tekadnya.
Berbicara soal cinta, Sastra diam-diam menyukai seorang laki-laki yang ada di kelas lain. Sebenarnya itu cinta pertamanya ketika SD. Eh, pas SMA ketemu lagi. Namanya Raka. Ardana Wiraka.
Raka adalah ketua dokter remaja di sekolahnya. Sastra ingat, dulu kelas 1 SD, mereka cerita-cerita tentang cita-cita. -Sebenarnya mereka dulu akrab waktu SD, tapi sekarang agak kurang-.
...........
” Sastra, cita-cita kamu jadi apa?”
” Hm..apa ya? Aku mo jadi kayak mama ku –pada saat itu mamanya seorang psikiater-
”ooh,,kenapa?”
”Abis, mama baik banget! Orang gila aja diladenin, di baikin. Mama hebatlah, dan aku mau kerja di rumah sakit kayak gitu. Putih-putih semua!”
”Haahahaha.....”
”Kalo kamu Raka?”
” Aku juga mau kerja di rumah sakit! Aku mau jadi dokter. Jadi, kalo ada yang sakit, aku yang nyembuhin. Kan dia jadi sembuh dan bisa tersenyum lagi”.
”Ohhh..”
”Berarti nanti kita kerjanya sama-sama aja ya!”
”iya..iya..”
”Trus nanti, kalo aku udah jadi dokter, kamu sama aku aja ya..kita kayak mama ma papa ku..” –yang pada saat itu papa Raka adalah dokter dan mamanya perawat-
”Iya, kamu jadi Papa, aku jadi Mama..!Hhhhehe
...........
Masih teringat dia percakapan 12 tahun yang lalu itu. ”Andai masih seperti dulu”, pikirnya.
Waktu mereka kecil, Rakalah yang selalu bermain bersamanya. Waktu dia dimarahin mama gara-gara main kotor, Rakalah yang membujuknya. Waktu dia sakit, Rakalah orang pertama yang datang menjenguknya. Dan ternyata, hanya Rakalah yang tetap berada di hatinya sampai sekarang.
Sekarang, kalau Raka berjumpa dengan dia, Raka hanya tersenyum dan menegur ’’Hai Sastra”, dengan senyuman khas manisnya itu. Dan Sastra pun hanya mampu membalas senyumannya. ”Raka..Raka..!Andai kau tau, selama ini, kaulah pangeran hatiku”..ujar Sastra sambil geleng-geleng.
Raka memiliki wajah yang tampan, pintar, dan tak heran Raka menjadi idola para cewek di sekolahnya. Sastra mengetahui semua tentang Raka. Mulai dari tanggal lahirnya, sampe nomor sepatunya. *yang nomor sepatu juga hiperbola-.
Kalau dipikir-pikir, Sastra dan Raka bisa dibilang sangat cocok. Sama-sama pintar, sama-sama menarik, sama-sama orang terkenal di sekolah. *Lha? bukannya perbedaan yang menyatukan satu sama lain? Saling melengkapi gitu lah, istilahnya.-
Kalau disinggung soal Sastra, wajarlah kalau seandainya ada yang mengagumi dan menyukai Sastra. Diam-diam, teman sekelasnya, Beni, menaruh perhatian padanya. Kalau dilihat dari fisik, Beni tak kalah tampan dari Raka, hanya saja perbedaanya, Beni tak sepintar dan tak seperti sosok Raka yang begitu sempurna di mata Sastra. Selain pemalas, Beni juga anak yang lasak, jahil dan suka membuat onar.
Selain itu, Beni juga suka cari-cari perhatian –istilahnya caper- kepada Sastra. Awalnya Sastra hanya menganggap biasa Beni menyukainya, karena gak hanya Beni yang menyukainya. Banyak yang diam-diam mengirim surat cinta padanya, meletakkan coklat di lacinya, menaruh bunga di laci mejanya. Bahkan ada juga yang berani terang-terangan menyatakan cinta padanya. Ya tentu ditolaknya lah, hatinya hanya untuk Raka seorang.
Terkadang, dengan sikap Beni yang terlalu berlebihan, membuat Sastra gerah dan mulai malas melihat Beni. Tidak jarang, Sastra harus menanggung malu dan –kalau bisa- dilepas wajahnya, sudah dilepasnya- akibat tingkah Beni. Beni selalu menunjukkan rasa cintanya di saat-saat yang gak tepat. Contohnya, ketika belajar B.Indonesia dan membahas tentang cita-cita, dengan tanpa pikir panjang, ia menjawab ’menjadi pendamping Sastra!’ ketika ditanya Guru. Sontak, anak-anak kelas ricuh dan menertawakannya. Cie..cie..Sastra ye....!! Sastra hanya diam dengan wajah yang merah dan senyum terpaksa. Kemudian, ketika lagi istirahat, Beni nyanyi keras-keras bahwa dia sangat menyukai Sastra. Kembali lagi kelas heboh dibuatnya. Ada lagi, ini lebih parah.vSempat-sempatnya dia memberikan Sastra bunga di depan semua orang ketika upacara dan bertepatan Sastra dinobatkan sebagai pemenang olimpiade lagi! Seluruh siswa malah bertepuk tangan dan bersorak. Lagi-lagi Sastra memasang senyum palsu. Setelah selesai upacara, Sastra ke toilet. Menangis menanggung malu yag luar biasa. Semenjak itu, Sastra malah diejek-ejek sama Beni. Maksudnya digosipin.
Dan semenjak itu pula, dia menetapkan hatinya, bahwa ia sangat membenci Beni!. ”Sungguh tega kau mempermalukan aku seperti itu Ben!” Ujar Sastra sambil terus menangis.
Tapi, inilah Sastra. Walaupun begitu, ia tetap melupakan kejadian itu dan tak mau ambil pusing dengan semua godaan teman-temannya. Dia hanya diam dan pura-pura gak tau saja. Tapi, tetap saja, ia membenci Beni. Mulai detik itu, Beni dianggapnya tak pernah ada di dunia ini.
......................
Besok ada Try Out khusus untuk murid kelas 3. Try Out UN. Lokasinya di SMA lain. Diikuti oleh semua SMA yang ada di daerahnya. Tentu saja Sastra sangat ambisius dan semangat mengikuti try out tersebut. Karena, ia menganggap try out salah satu wadah mengukur kemampuan. Malah, ia sudah mempersiapkan try out ini, sebulan sebelum try out diadakan. Yang mendapatkan peringkat 1-5 mendapatkan piala dan buku pembahasan soal UN dan SPMB. Sastra ingin mendapatkan buku itu, karena buku itu ditulis langsung oleh pakar Matematika, Kimia dan semua yang berkaitan dengan UN dan SPMB. Lagian, buku pembahasan soalnya sudah habis ludes dibahasnya.
Nah, tibalah waktunya Try Out. –Karena sok kompak- semua murid yang mengikuti try out di sekolahnya mengumpul di gerbang sekolah dan perginya bareng-bareng –walaupun masing-masing kelas juga-
Dan begitu juga dengan kelas Sastra. Pergi bareng. Ngumpul di sekolah jam tengah 8. karena try out dimulai jam 9. ”On time!”. Begitulah isi sms yang disebar di seluruh nomor ponsel teman sekelas. Tapi, lihatlah kenyataan. Dia duduk sendiri di bangku taman sekolah. ”Dasar. Kalau gak disiplin seperti ini, gimana bangsa mau maju?” Gerutu Sastra dalam hati. –Sebenarnya sekolah sudah rame, tapi rame oleh anak-anak kelas lain yang sibuk masing-masing-. Ternyata, dari kelas mereka tidak hanya Sastra yang on time. Tapi yang ngirim sms –ketua kelas- namanya Riko juga on time. Hanya saja, dia saat itu sedang sibuk bercengkrama dengan temannya. Huufft...! Karena bosan, Sastra pun membuka kembali model soal yang diberikan oleh panitia penyelenggara try out.
Hmm..disaat sedang membaca-baca soal, dia ngerasa, ada seseorang yang mendekatinya. Paling, Alya! –teman sebangkunya- ”besok aja datangnya Al!” ucap Sastra, dengan wajah yang masih mengarah ke soal. ”Permisi..” sapa orang itu. Sastra mengangkat kepalanya dan Raka? Hei..!” sapanya salah tingkah.
” Ngapain? Bahas soal ya?”
”Eh, iya..” jawab Sastra senyam senyum. Langsunglah, latar tempat yang awalnya sekolah, berubah menjadi taman bunga yang begitu indah, didampingi burung-burung yang berkicauan dan kupu-kupu yang berterbangan..Indah sekali..! *lagi-lagi hiperbola-
”Kalo udah mau TO jangan dibahas lagi, nanti lupa semua..!” saran Raka dengan senyuman.
Jujur, membuat Sastra klepek-klepek. Namun ia tetap menjaga image di depan Raka. Agar tidak ketauan kalau dia menyukai Raka. Sastra pun hanya senyum dan kemudian seperti dikomando, dia memasukkan model soal ke dalam tasnya.
” Nanti masih mau jadi Psikiater?” tanya Raka.
Ternyata dia masih ingat. Ya Allah...dia ingat..dia ingat. Dalan hati Sastra seperti ada grup orkestra yang sedang menandungkan musik bahagia. *Kali ini benar, bukan hiperbola!-
”Iya! Kamu masih mau jadi dokter dan bekerja sama-sama di rumah sakit? Hahhaha..”
”Hhhahaha, kamu masih ingat aja ya!”
Keduanya tertawa. Yaiyalah, bahkan sangat ku ingat Raka! Ujar Sastra dalam hati.
Dari kejauhan, tak disadar, ternyata Beni memperhatikan gerak-gerik mereka berdua. Dengan santai, ia berjalan menuju arah Sastra dan Raka yang sedang bercerita. Dan dengan santai pula, Beni berkata di depan keduanya, ” yuk Sas, kita berangkat! Kamu berangkat sama aku kan? Dah jam tengah 9 ni!” Beni senyum-senyum.
Sastra benar-benar terkejut. Apa-apaan nih? Apa sih maksudnya? kening Sastra mulai berkerut. Di depan Raka lagi! Sastra melihat ke arah Raka yang wajahnya berubah diam dari yang tadinya senyum. Adduuuuhhhh!! Sastra bergumam sambil terus mencuri pandang ke arah Raka yang terrdiam dan menunjukkan wajah yang kesel sepertinya.
Tiba-tiba Riko datang. ”Woy, Ben! Berangkat sekarang yok! Nanti telat!”. Beni pun tepelongo. ”Ah, Riko! Ngegagalin rencana aja!” ucap Beni dalam hati. Sastra tersenyum penuh dengan kesyukuran. Baguslah..makasih Riko!
.....
Langit terlihat mendung dan awan mulai menitikkan air sedikit demi sedikit. Yah, ujan! Raka dengan cepat bergerak ke sepeda motornya. Mengeluarkan jeket kesayangannya dan memberikannya pada Sastra. Sastra terpelongo dan senang bukan main. ”Yes! Kayaknya aku bakal pergi dengan Raka!” Pikirnya. ”Sas, ini da ujan. Ni aku ada jeket. Nanti kamu keujanan.” Sastra makin GR. Jangan-jangan dia juga suka sama aku. Heee. Sastra senyum sendiri. Raka menaiki sepeda motornya dan menghidupkan mesin. Sastra berjalan mendekat ke arahnya. ”Sas, aku luan ya! Nanti telat. 30 menit lagi soalnya! Ok..! ” ucap Raka sambil pergi berlalu.
Duuaaaaarrrrrr!!! –pas banget lagi ada gledek dan petir nih-
What????? Sastra terbodoh..Mulutnya hanya bisa mengangap. Masih enggak percaya. Latar kini berubah menjadi bebatuan dan padang pasir yang gersang. Tiada lagi kupu-kupu dan burung yang berkicauan.Hhah,!
Karena hujan semakin lebat, Sastra pun berlindung ke pos satpam. Dan masih merenungkan nasibnya. ” Sialan! Kalau kayak gini, bagus tadi pergi luan aj. Hugh! Bikin malu aja. Pake acara keGRan mo naik ke motornya pula lagi. Untung ga sempat naek!Aggh..” gerutu Sastra. Kali ini, pangeran hatinya benar-benar membuat dia sakit hati dan illfeel. ”Kalo kek gini aku telatlah! Gak bisa dapetin buku karya pakar-pakar!!” Aaghh..Raka kurang ajarrrrrr!!! Tega niggalin aku ujan-ujan gini!! Padahal, tadi kan bisa nebeng!! ” Sastra makin kesal jika teringat kejadian itu lagi. Asle! Malu banget!!
Karena hujan tak kunjung berhenti, Sastra memutuskan untuk melawan hujan dan menyetop sebuah becak mesin. Lebih sialnya lagi, ternyata semua teman-temannya langsung ke tempat tujuan karena mau ujan. Ah, sial bener!
Hingga, akhirnya dia sampai di tempat TO. Yah, dia telat 30 menit. Ck! Sastra pasrah namun tetap berusaha. Toh, dia pun sudah sebulan yang lalu mempersiapkan TO.
...................
Pengumuman TO dipasang seminggu setelah TO berlangsung. Sastra hanya pasrah begitu melihat pengumuman di mading sekolah. Dia berada di peringkat 10 dari 2800 siswa. Dia melihat nama Raka berada di posisi 3. Huh, puas kau Raka!
Kali ini Sastra tidak bangga dengan prestasi Raka. Masih sakit hati! Makan hati!! Dan dia melihat terus, sampai ke posisi 5. BENI ARSHATAMA. Ha? Beni? Gak mungkin! Hatinya tambah kesal, melihat malah Beni yang mendapatkan buku itu. Aggh!!
Sastra berjalan dengan muka paling masem. Gak pernah dia kayak gini.
Tiba-tiba dari belakang, ada yang menepuk pundaknya. ”Hai, cantik!Kenapa? Ngelamun aja?” Beni menegurnya dengan senyuman sangat tulus. Sastra hanya melihatnya, diam. Wajahnya kesel. ”Jangan ganggu!” ucap Sastra.
”Eh, aku masuk 5 besar lo di TO kemaren.Bukunya bagus, tapi aku gak suka, jadi.....!” Belum sempat Beni menyelesaikan perkataannya. Sastra memotongnya dengan keras.
” Aku dah tau Ben! Jadi biasa aja knapa? Aku pun seringnya dapat 5 besar, tapi gak seheboh kamu!” Sastra langsung pergi meninggalkan Beni yang langsung terdiam dan berdiam diri.
Sastra makin kesel begitu dengar Beni yang gak menginginkan buku itu malah mendapatkannya. Sedangkan ia yang begitu mendambakannya, tidak!! Sastra ke kelas. Bersandar di bangku! Dia membuka tasnya. Oh iya, jeketnya Raka! Aku harus kembalikan sekarang. Sastra mengambil jeket Raka dan hendak ke kelas Raka. Sebelum ia beranjak dari bangku, dari balik jendela ia mendengar suara 2 orang yang sedang bercengkrama dengan sangat akrab.
” Ya udah, kamu nanti kerjanya sama aku, aku jadi dokter, kamu jadi Psikiater. Kita kerja di rumah sakit yang sama. Jadi kita sama-sama membantu mereka-mereka yang butuh bantuan . Jadi, kan kita bisa selalu sama-sama..!” *kata kunci ’sama’.
”Benar ya Raka...”
Sastra penasaran. Raka? Tadi cewek itu bilang Raka?
Maka dia pun memanjat kursi dan mengintip ke luar jendela –berhubung, jendelanya agak tinggi-. ”Ha? Raka? Sama siapa dia?” tanya Sastra dalam hati. Ah, paling-paling sama temannya. Ketika Sastra mau turun, terdengarlah kembali percakapan.
” Aku sayang banget sama kamu Raka! Jangan pernah ninggalin aku ya!”
”Iya, aku janji. Setelah aku jadi dokter, aku akan melamarmu. Nanti kamu jadi seorang Mama, aku jadi seorang Papa”
Deg! Sastra bagai disambar petir! Jantungnya berdegup sangat kencang. Apa? Bukankah dia janjinya sama aku waktu dulu? –Sastra menganggap serius perkataan anak SD sampai sekarang- *Makanya, lain kali –bagi yang ngomong, terutama cowok, hati-hati atas ucapanmu. Walaupun bercanda.!!
Sastra lemas. Benar-benar lemas. Selama ini dia menyimpan perasaan yang sangat dalam kepada Raka. Selama ini, hatinya tertutup untuk orang lain hanya karena menunggu Raka. Tapi ternyata..Agh..Air mata sedikit menetes. Tapi langsung dihapusnya. Apa-apaan perkataan seperti itu. Aku harus tanya. Mana tau aku salah dengar. Ujar Sastra yang langsung menuju ke tempat Raka.
Sesampainya, dengan senyum yang sangat dipaksa, namun terlihat seolah-olah alami, Sastra menegur Raka. ”Permisi, Hai Raka! Aku mau balikin jeket kamu!” kata Sastra sambil menyerahkan jeket ke Raka. Sastra langsung balik badan karena maleees banget ngeliat keduanya. Tiba-tiba Raka memanggilnya. ”Sastra! Bentarla, ada yang mau ku bicarakan.!” Sastra melihat Raka. Apa yang mau dibicarakannya. Apa dia mau memberi tau kalau ternyata itu cewek impian dia selama ini. Dan dia mau ngasi tau tentang rencana pernikahannya? Ugh..
Tapi walaupun kesel, Sastra kembali lagi ke arah Raka. ”Ada apa Raka?”
”Aku mau kenalin seseorang”
Sastra melihat ke arah cewek itu, diperhatikannya dari atas ke bawah. Cantik! Pikirnya.
”Hm...Sastra...” ucap Sastra memperkenalkan diri sambil menawarkan salaman.
”Ega..” balas cewek tersebut sambil senyum manis.
” Tau, Ga! Sastra ini dulu sahabat aku waktu SD! Dia orangnya pintar, baik, cantik lagi. Pokoknya dia cewek terbaik yang pernah ku kenal.” Ujar Raka kepada Ega. Ega hanya senyum mengarah ke Sastra.
Sastra terkejut. Ia menatap Raka. ”Tak kusangka ternyata Raka menilaiku seperti itu. Apa benar?”. Tanya Sastra dalam hati.
”Oya, Sas! Kmarin itu aku ninggalin kamu, maaf ya, aku buru-buru. Aku lupa kalo harus jemput orang!Udah itu,,aku mau berusaha dapetin buku itu untuk seseorang yang sanagt kusayangi dan kukagumi..” Raka berkata dengan sangat lembut.
Lagi-lagi Sastra terdiam. ”Ternyata aku suujon banget...” pikirnya. Hati Sastra mulai lunak. Mungkin, karena Raka adalah cinta pertamanya, sebenci apapun pasti akan hilang segera. Sastra senyum. ”Gak papa kok Raka!”. Tapi, maksudnya siapa ya orang itu? Tanya Sastra dalam hati.
Lanjut Raka,
”Oya Sas, Ega ini juga mau jadi psikiater kayak kamu loh. Tapi kayaknya kamu lebih hebat!heheheheh..”
Ega Cuma senyum-senyum manja. Sambil mukul pundak Raka dengan lembut.
What lagi? Raka memujiku di depan seorrang cewek? Kurasa aku telah salah paham. Ya q rasa aku salah dengar tadi.
” Dan Ega ini tunangan aku Sas. Waktu aku SMP, mamaku menjodohkan kami. Awalnya aku gak setuju. Tapi lama-lama, akhirnya aku sayang sama Ega!”
”Apa?” tanya Sastra penasaran dan ingin Raka mengulanginya.
”Tunanganku, tapi diam-diam aja ya. Jangan sampai pihak sekolah tau...”.
Sastra benar-benar seperti disambar petir yang paling besar. Bagaikan diterpa ombak yang paling dahsyat. Bagaikan ditusuk tombak yang begitu tajam dan bagaikan- bagaikan lainnya yang begitu hiperbola. Diam seribu bahasa. Okelah, yang tadi-tadi pikirannya meleset. Tapi, kenapa pikiran yang ini yang tepat? Gak buang dengan yang dipikirkan barusan. Ternyata intuisiku kuat. Pikirnya. Kembali lagi Sastra memasang wajah palsu dihadapan Raka. Hatinya gak mampu menerima semuanya. Dengan berat hati ia berkata, ”Oh, selamat ya Raka. Makaih juga buat jeketnya. Maaf, baru dibalikin sekarang..”
”Sama-sama, Sas. Kamu ntar datang ya ke acaranya..”
”Tentu saja, kamu kan sahabat aku yang paling baik!”. Terpaksa. Sungguh terpaksa. Baru kali ini juga dia melakukan hal seperti itu selama ini.
” Sas, aku benar-benar kagum sama kamu. Gak salah jika selama SD, aku mengagumi kamu. Kamu cewek yang hebat!.”
Tentu saja pujian itu tak berlaku lagi di telingga Sastra. Dia hanya bisa tersenyum, yaa, tentunya masih palsu. *Kapan aslilnya sih, mbak??
”Ya, udah, aku luan, ya..” Pamit Sastra.
Sastra rasanya daritadi ingin sekali mengangkat kaki dari tempat itu. Tapi ia masih mampu menghargai seorang Raka, yang bertahun-tahun memiliki tempat spesial di hatinya. ”Ternyata seperti ini sakit hati!” Ujar Sastra.
Ia kembali ke kelas, dengan tubuh yang lemes. Lemes banget. Semuanya lemes. Mulai dari mata yang melihat kenyataan itu. Telinga, yang mendengar berita. Mulut yang berucap terpaksa. Dan hati yang...agh!Gak bisa bilang apa-apa!. ”Apa sih kurangnya aku? Dibanding cewek itu, aku lah yang lebih baik”. *Hm..sepertinya benar-benar ada yang mulai lain dari Sastra.
Di kelas, Banyak juga anak-anak, walaupun sebagiannya lagi masih di kantin. Beni masuk dan bermain gitar. Tiba-tiba ia bernyanyi, ” Sastra...aku cinta..kepadamu..aku rindu kepadamu...benar-benar cinta...yyyeee..”. Tentunya, semua mata melihat ke arah Beni dan bersorak, Uuuuuuuuu....Tapi mereka malah menggoda Sastra. Ciecieeeeeeee...........Kelas gaduh, penuh tepuk tangan, seperti ada pertunjukkan hebat yang baru saja ditampilkan. Sastra yang lagi kesal, bertambah kesal dengan semua itu, tiba-tiba ia bangkit dari kursi dan memukul meja dengan keras. Serentak, teman-teman, begitu juga Beni terkejut dan diam. ”Cukup ya Ben! Aku udah muak dengan semuanya! Kau selalu saja mempermalukan aku! Kau belum puas ya, setelah membuat mukaku seperti gak berharga lagi ketika upacara waktu itu? Sebenarnya maumu apa sih? ”. Sastra berkata dengan suara sangat keras. Seperti tangga nada ’sol’ atau ’la’ lah kira-kira.
”Memangnya kenapa Sas? Apa aku salah menyukaimu? Aku kan cuma mengungkapkan semuanya?”. Baru kali ini Beni terlihat serius.
” Heh! Ngungkapkan apa? Kau tu da mempermalukan aku! Dan kau tu harus sadar ya! Apa pantas kau bersamaku? Apa yang bisa kau banggakan? Apa? Cuma Ra....Agh! Dan aku gak pernah mau disukai orang sepertimu!!” Bentak Sastra, lalu ia keluar dari kelas. Suasana kelas yang tadinya ricuh, menjadi sehening kuburan di malam hari..Beni terdiam bak patung yang siap dihancurkan. ”Astaghfirullah! Sastra!!” panggil Riko. Dan kali ini, memang ada yang berbeda dari Sastra.
.................................
Sudah seminggu, Beni tak masuk sekolah. Teman-temannya berfikir dan menganggap Sastra lah penyebab semuanya. Dia telah membuat Beni sakit hati sampai jatuh sakit. ”Hah! Berlebihan!” Pikir Sastra cuek.
”Ya, abis kamu ngomongnya kasar sih..”
”Kamu waktu itu keterlaluan banget..”
”Kamu mending jenguk dia dan minta maaf deh Sas..”
Begitulah komentar teman-temannya yang membuat Sastra semakin kesal. Awas ya Ben! Gara-gara kau, aku disudutkan seperti ini! Gerutu Sastra.
Ujian Nasional sebulan lagi berlangsung. Namun, Beni belum juga masuk sekolah.
Sastra baru sampai di sekolah. Dia bangun kesiangan. Ah! Sepertinya aku telat!
Dia masuk kedalam kelas, dan melihat kelas kosong, namun tas murid ada. Oh iya, hari ini kan ada pelajaran komputer, mungkin praktek di lab. Sastra menuju tempat duduknya dan membuka lemari meja untuk meletakkan tasnya. Tiba-tiba ia menemukan buku ”Kumpulan soal UN dan SPMB spesial! Disusun oleh pakar-pakarnya”. ”Ha? Ini kan hadiah TO itu? Waah..! Dan ia menemukan secari kertas, ”Untuk Sastra! Bentar lagi UN dan SPMB, ini untukmu. Met belajar ya! =D **dari orang yang mengagumimu dari dulu”. Sastra sangat senanglah! Karena buku itu diterbitkan terbatas dan selama ini dia mencari-cari buku itu namun tidak ada. Dan sekarang ada orang yang memberikannya. ”Dari siapa ya? Mengagumiku dari dulu? Apa dari Raka..?” Pikir Sastra senyum-senyum.
”Itu dari Beni!”. Tiba-tiba Riko masuk dan menjawab tegas pertanyaan Sastra. Sastra melihat ke arah Riko.
”Ha? Oh...!” Sastra meletakkan ke atas meja buku yang lama dipeluknya tadi. Kegengsian mulai meraja lela dan membabi buta di dirinya.
”Udahla, terima aja. Dia ngasi itu cuma buat kau. Lagian orangnya gak ada kok!”. Kata Riko dengan suara sedikit ditinggikan.
Benar juga. Pikir Sastra. Tapi, ia tetap bersikeras menolak buku itu –walaupun dalam hati begitu gembira mendapatkan buku yang selama ini diimpi-impikan.
”Kalo dari Beni, ya sudah. Ku kembalikan saja..” Sastra berdiri dan menuju arah Riko sambil menyerahkan buku itu. Riko cuma bisa diam. Dari tampangya bisa dilihat, bahwa ia menyimpan amarah yang begitu besar. Mungkin saja pikirannya, kalau gak cewek, udah kuhajar kau Sastra. *Mungkin ya!..mungkin..!jangan suujon dulu..!.
Tapi, Riko masih mampu menahan diri. Dan melanjutkan pembicaraan.
”Dia menitipkan buku itu jauh hari untukmu. Karena dia tau, kau sangat menginginkan buku itu. Asal kau tau ya, dia belajar mati-matian demi mendapatkan itu semua. Demi membahagiakanmu. Demi merasa berharga di depanmu! Dan aku saksi dari itu semua!”
Sastra tertawa kecil sambil menggeleng. ”Hhhhhhhhhh”.
”Ya, sudah, aku gak butuh bukunya, kembaliin gih ma dia. Lagian dia mana coba, kenapa gak ngasi sendiri?” ucap Sastra sambil senyum.
Dengan dada sesak dan amarah yang sudah ditahan, Riko berkata dengan agak kasar, ” He, Bagaimana dia memberikan buku itu, sedangkan dia tau dia akan meninggal”.
Sastra yang tadinya mau keluar, melihat balik ke arah Riko dengan wajah bingung dan kening yang dikerutkan. ” Maksudmu?”
Riko menitikkan air mata. ” Beni meninggal. Barusan. Teman-teman sudah kesana semua. Aku lihat kau belum datang, jadi aku nunggu kau!”. Dengan suara berat Riko berkata.
”Meninggal?” tanya Sastra kembali, kali ini wajahnya serius.
” Kau salah selama ini menilai dia. Dia bersikap lasak, banyak tertawa, itu semua untuk menutupi rasa sakitnya. Dan dia pernah bilang, hanya kaulah cewek yang ada di hatinya. Dia ingin sekali membahagiakanmu, namun tak tahu caranya. Dia juga tau kau menyukai Raka!!” Sastra terkejut.
”Memang dia sakit apa?” tanya Sastra.
”Kanker! Kanker otak!”.
Sastra hanya terdiam. Menunduk. Melamun.
”Tak kusangka, ternyata Sastra yang sungguh membanggakan ini, seperti ini orangnya!”
Sastra terperangah mendengar ucapan itu. Dia gak terima. Alisnya menyatu, dahinya mengkerut.
”Kau sempurna! Kau mampu bergaul dengan orang lain, kau mampu menghargai orang lain, tapi enggak untuk Beni! Padahal dia begitu tulus suka padamu!”.
”Apa?” Sastra mulai naik pitam mendengar hinaan itu dilontarkan padanya.
”Udahla Sas! Kau tu gak pernah menghargai dia! Sekarang, kau lihat? Dia sudah meninggalpun kau gak tau? Selama dia di RS, kami menjenguknya, tapi ia berharap, kau melihatnya untuk terakhir kali! Tapi apa? Dengan santai kau jawab kau mau les! Kau lebih memilih les yang kurasa hanya alasanmu daripada melihat keadaan temanmu! Tak kusangka, kau begitu jahat Sas! Kau masih bisa menolak pemberiannya sekarang?. Tersenyum mengejek hasil usahanya! Perempuan macam apa kau ini!! ” Riko begitu marah. Ia berkata begitu kasar. Dengan suara tinggi. Bagaikan petir yang menyambar-nyambar.
”Maaf Sas, aku gak bisa nahan lagi. Kalau kau mau lihat dia, datang kerumahnya, alamatnya sudah kutulis dibuku itu! Permisi!” Riko keluar kelas dengan hati yang berkecamuk.
Sastra terdiam di dalam kelas sendiri. Kata-kata Riko tadi sangat menusuk hatinya. Asli! Sangat menusuk! Sastra hanya bisa bengong dan berdiri kaku. Sambil terus memeluk buku soal itu. ”Maaf Ben...” katanya pelan dengan suara lirih.
...........................................
UN berlalu! Semua murid yang ada di SMA Sastra merayakan kelulusan mereka dengan berteriak, bersorak dan mencampakkan topi wisuda bersama-sama ke langit. Penuh kegembiraan dan kebahagiaan.
Kini, 15 tahun berlalu. Semua kenangan ada di sekolah itu. Murid-murid ada yang sudah menjadi insinyur, pengusaha, guru, dokter, arsitek, dan profesi-profesi lainnya.
Raka berhasil menjadi dokter bersama Ega, istrinya yang selalu mendampinginya. Riko juga telah sukses menjadi dokter di sebuah rumah sakit ternama. Sastra? Mungkin dia sudah menjadi psikiater handal dan bekerja di luar negeri, seperti impiannya.
.......................................
Riko adalah sosok yang bertanggung jawab. Setiap hari, ia merawat langsung pasien-pasien yang ada di rumah sakit itu. Terutama pasien di kamar 14. Ia menaruh perhatian penuh kepada pasien yang satu ini. Karena pasien tersebut sudah dibilang cukup parah. Setiap hari, setiap melihat pasien itu, Riko selalu menangis. Ia selalu teringat Beni dan Sastra.
Pasien itu dengan rambut yang sudah begitu panjang kusut, sampai-sampai matanya sudah tidak kelihatan, teriak-teriak, tertawa, menangis tiba-tiba, memukul-mukul dinding, meratap tak karuan, kakinya di rantai karena ia selalu menendang-nendang suster. Tangannya diikat karena sering mencoba menyakiti dirinya. Ya, dialah pasien paling parah di Rumah Sakit Jiwa Partaguyana ini.
”Papa ngapain ngeliatin dia terus?”
Suara seorang perempuan membuyarkan pandangannya. Sambil tersenyum dan berkata, ”Papa lagi ngeliat tante itu, Sastra...!” dengan sedikit godaan dan candaan sambil mengelus kepala perempuan yang juga anaknya itu. Perempuan itu tersenyum. ” Dia cantik, Pa..,” balas perkataan anak yang baru berumur 7 tahun itu. Riko tersenyum..”Dia tidak hanya cantik, tapi juga baik dan pintar..” Riko meneteskan air mata.
Ia menamakan putrinya sama dengan nama sahabatnya dulu, -memang gak sama banget- Sachstra Heriko Prajaya. ”Papa dulu punya sahabat yang baik, cantik, pintar, dan membanggakan, namanya Sastra,.kayak nama kamu,.Papa berharap, kamu juga seperti dia...”. Riko menggendong Sastra dan bersama-sama melihat pasien itu. Sastra kecil tersenyum,. ” Aku akan berusaha untuk selalu menghargai orang lain Pa...!” Katanya polos.
Berulang kali Riko memperhatikan pasien itu, dan kadang memeluknya erat sambil menangis tersedu. Ia sangat menyayangi wanita itu, walaupun dia sakit mental.
Dialah, wanita yang dulu dibanggakan. Dialah wanita yang dulu diagung-agungkan. Dialah wanita tempat curhat teman-teman. Dialah wanita yang begitu ambisius mengejar cita-cita ingin menjadi psikiater handal. Ya, dialah Sachstra Hadi Bhijaya...
***
1 komentar:
yaaahhh...
dingin dah pipi...;'(
Posting Komentar