11. Angkot. Gramedia. Buku. Plastik. Kamera CCTV. 2.
Teman lama. Sopir. Tukang Es Dawet. Gelandangan.
Miris. Kotaku. Macet. Es jagung.
Suara hati. Tuhan. Bahagia.
Aku.
Teman lama. Sopir. Tukang Es Dawet. Gelandangan.
Miris. Kotaku. Macet. Es jagung.
Suara hati. Tuhan. Bahagia.
Aku.
( Kayak buku 5 cm? hehe, tanda-tanda calon penulis best seller juga :p )
Ada apa dengan hari ini? Ya, banyak cerita yang saya lalui untuk hari ini. Kisah biasa namun begitu luar biasa bagi saya.
Diawali dengan perjanjian dengan teman lama ketika SMA yang tidak berubah dan istiqomah dengan pakaian taqwanya yang semakin sempurna kulihat. Tia, panggilannya.
Janji untuk pergi ke Toko Buku Gramedia di gedung baru di depan Grand Palladium, Medan. Janji untuk bertemu di simpang 4 Aksara jam 11 atau setengah 12, yang kemudian saya mengingkari janji itu karena kekurang tepatan dalam memprediksi waktu.
Awalnya, saya berencana akan pergi naik motor. Ternyata, saya rasa ibu lebih membutuhkannya daripada saya. Dan saya memutuskan untuk naik angkot. Fyuuh. Setelah sekian lama.
Saya mengirimkan pesan maaf kepada Tia atas keterlambatan datang. Dan dia maklum.
…
Well, perjalanan kami menuju Gramedia lumayan jauh juga. Pake acara jalan kaki juga. Oke, gak papa, saya nikmati.
Adalah sesuatu yang sangat menusuk hati ketika saya naik angkot. Karena apa? Saya merasa, telah mendzalimi teman-teman ketika saya naik angkot. Karena saya akan menjadi orang yang super cuek yang akan terus melihat ke depan. Dan, Tia lah korbannya saat ini. Entahlah apa yang ada di pikirannya, tapi saya rasa dia baik-baik saja. Selama di perjalanan, saya tak sanggup jika harus mengajaknya bercerita. Karena itu akan menimbulkan dampak luar biasa bagi saya yang tak tahan perjalanan darat ini. ><
mabok (dramatisir amat ceritanya? -_-‘ ).
…
Sampai di Gramedia.
Disambut hangat oleh penjaga pintu, seorang bapak-bapak, mungkin 40 tahunan, kurus, tersenyum hangat kepada kami.
‘’Selamat siang, silahkan masuk..’’
saya tersenyum. Senang.
..
Kami berpencar. Mencari buku kesukaan masing-masing. Saya lari ke novel, Tia lari ke komik. Sepasang mata yang kami punya sibuk melirik kesana – kemari mencari novel ataupun komik yang akan di ‘rampas’ untuk dibaca ‘paksa’ alias, baca gratis. Inilah kelebihan dari Gramedia dibanding toko buku lain. Kalo tahan, kita bisa baca sepuasnya buku yang ada disini dari pagi sampe pagi lagi ( kalo gak diusir sih). Dan yang paling penting, GRATIS. Itulah mengapa, Gramedia menjadi pusat ‘kebanggaan’ anak-anak pecinta ilmu ( baca : kere ) seperti kami ini.
…
Dua jam kami berada di Gramedia. Saya habis baca 2 buku, yaitu Cinta Brontosaurus nya Raditya Dika dan Komik 5 cm nya Donny Dhirgantoro ( padahal novelnya udah baca ). Tia? Abis banyak juga. Memang dasar Ratu Baca Gratisan. Komik Conan edisi 65 nya Aoyama Gosho, Manusia Setengah Salmon nya Raditya Dika dan Buku ( saya juga lupa kalo gak salah judulnya ) Raditya Dika membuat saya menjadi tolol ( tah gila ). Lupa! Dan buku-buku 'curian' lainnya.
Pengalaman pertama buat saya, mengoyakkan sampul plastik buku dan
ini, diajari oleh Tia. -_-''
ini, diajari oleh Tia. -_-''
Kami mengambil buku diam-diam (tentunya, buku target yang ingin dibaca ), #kayak pencuri, tau.
Melihat-lihat kamera cctv, kearah mana dia sedang memonitor, dangan muka tak berdosa, pura-pura lihat buku, jari jemari juga ikutan pelan-pelan merobek plastik sampul dan ya, kami sukses, sebagai pengoyak sampul! -_-' Bener-bener...
..
Alhamdulillah, saya dapat rezeki lebih dan itu saya manfaatin buat beli buku.
Saya membeli 2 buku, yaitu 7 keajaiban rezeki nya Ippho Santosa ( yaitu buku yang saya tunggu-tunggu dan saya impikan untuk memilikinya dan (boleh) dimiliki ‘orang lain’ dan buku ‘2’ nya Donny Dhirgantoro.
Sebenarnya banyak buku, terutama novel yang ingin saya beli. Memang, kalo udah masuk Gramedia, napsu menggebu-gebu untuk membaca dan memiliki semua buku yang ada disana, sangat besar. Dan saya sadar, bahwa itu, NAPSU. -_____-‘, jadi, TAHAAAAN......!
…
Oke, saya dan Tia memutuskan pulang. Sebenernya sih bukan pulang ke rumah, hanya meninggalkan Gramedia.
Kami memutuskan untuk makan bakso wak sayur yang fenomenal banget bagi saya itu. Dan Tia setuju.
Kami makan bakso dan minum es jagung yang super gurih. Nikmat? Banget!
Dan itu membuat saya, lumayan kekenyangan yang kemudian langsung ditegur Tuhan, dengan ‘sakit perut’ yang saya alami. Saya sadar, yang panas, jangan dicampur yang dingin. Dan ini akibatnya. Fyuh…
Selesai makan, adzan, kami shalat.
Di Mesjid, tidak saya sangka saya bertemu Kak Hera, seorang akhwat di kampus saya. Kok bisa? Bisalah. Dunia ini (sebenarnya ) kecil, man! Dan saya juga ketemu dengan teman lama saya, lebih tepatnya teman lama kami. Sakinah. Yah, namanya juga cewek ya, kalo ketemu, ya cerita. =,=’.
‘’Dyah, awak liat badannya segini-segini aja ya..Gak kayak awak..’’
Gubrak! Saya nabrak pesawat ( emang..?? ). -_-‘
Itu pujian atau hinaan yang sangat mematikan?
He, senyum saya maksa.
Sebelum pulang, saya ingin membeli es jagung untuk orang di rumah.
Saya beli 2 bungkus.
Ketika lagi mesan, seorang bapak-bapak penjual es dawet ( es cendol ) lewat. Dan saya melihat. Saya berusaha untuk tersenyum dan tidak saya sangka, bapak itu membalas senyum saya dengan lebih tulus, lembut dan hangat. Hangat banget. Inilah kekuatan senyum, pikir saya.
Hati saya semakin lapang dan luas dan pulang dengan perasaan damai. Tidak terlalu senang ( memang ga boleh ya kan? ) Dan tidak dalam keadaan sedih.
…
Angkot saya lewat dan saya izin pulang duluan dari Tia dan Sakinah karena perut saya mulai menjadi-jadi.
Saya naik angkot dan angkot jalan.
…
Beberapa meter saya meninggalkan tempat tunggu saya tadi, saya melihat dari dalam angkot, diseberang jalan, tepatnya di tempat sampah, saya melihat seorang lelaki paruh baya, berpakaian kotor, bertopi, memakan dengan lahap sebungkus nasi (sisa) dari tong sampah. Ini bukan di tempat sunyi. Di tempat ramai, dimana semua angkot lewat dan orang-orang menunggu angkutan.
Astaghfirullahaladzim.
Innalillahi wainna ilaihi rajiun.
Itu kata yang saya lontarkan dalam hati sepanjang perjalanan. Saya syok. Sangat syok melihat itu. Sakit dalam perut saya menambah-nambah dan mendramatisir semua.
Rasanya, ingin turun dan…(ah, saya hanya banyak berkhayal! )
Padahal, orang-orang disekitarnya melihat keadaannya. Padahal semua orang yang melintasinya akan melihat pemandangan menyedihkan itu. Tapi kenapa, kenapa mereka semua diam? Bisu? Seolah tidak melihat apa-apa. Seolah keadaan manusia kurang beruntung ( ataupun dia merasa sangat beruntung masih bisa makan? ) itu cuma bayangan atau angin lalu saja. Apa karena saking biasanya melihat hal itu, membuat hati mereka sudah sangat bebal dan tahan banting melihat kemirisan penduduk negara ini? Atau karena saya yang dengan 'kesayaan' saya, yang hanya sibuk menutup diri di istana super nyaman, yang secara live saat ini melihat adegan itu? Siapakah yang disalahkan? Entahlah! Saya masih hanya marah dengan siapa saja. Dengan diri saya. Miris hati saya..
Oh kotaku, ternyata tidak hanya gedung tinggi yang kau banggakan. Tidak hanya gedung pencakar langit yang semakin menambah ke wow an mu, tapi tidakkah kau sadar, bahwa, pendudukmu, wargamu ini, masih ada yang seperti itu. Masih ada yang makan makanan tak layak di tempat tak pantas seperti itu..
…
Adegan, wajah, cara dia makan masih terus teringat di pikiran saya. Bahkan sampai detik ini. Bodohnya saya yang dengan keegoan tidak melakukan apa yang saya khayalkan.
‘’Turun dari angkot, menyapanya, mengajaknya makan, membelikan keluarganya makanan (mungkin) dan bahkan memberinya sedikit uang ( toh, dia sangat kelaparan ketika itu dan uang dalam dompet saya juga masih sisa’’. Agh! Oh Tuhan…
…
Saya nyambung angot 2 x. Pertama, angkot 121 yang membawa saya dari Aksara menuju Simpang Halat.
Selanjutnya, saya akan menempuh perjalanan saya ke rumah dengan angkot 16.
Saya mencoba menelpon adik saya untuk menjemput, namun tidak diangkat. Saya yakin, jam 6 sore seperti ini, akan sangat macet!
Sejak dari Aksara, terjadi beberapa kali macet. Namun, supirnya begitu cekatan mengambil kesempatan, sehingga kami cepat keluar dari kemacetan, dan saya suka itu.
Dan, diangkot 16 hal yang sama terulang. Macet! Namun tidak secekatan supir 121. Jadinya, kejebak.
Untungnya, saya duduk di depan. Jadi tidak begitu terlalu pusing, hanya saja saya lelah. Sangat lelah. Kemacetan, kericuhan, potong jalan, semuanya mengisap energy saya. Padahal saya hanya melihat.
…
Sejak pulang dari Gramedia, kami menaiki angkot ( yang saya lupa nomornya ). Di belakang jok tempat duduk supir, saya memperhatikan supirnya. Seorang bapak-bapak kira-kira 40 tahunan, dengan kaos dan jam tangan melingkar di pergelangan tangan kirinya dengan teduh membawakan angkot ini. Saya sempat melihat wajahnya, dan terpancar aura kehangatan bahwa ia sangat menyenangi dan menikmati pekerjaannya sebagai supir angkot. Wow. Wajah lembutnya, senyum halusnya, menghilangkan sebagian kepenatan dalam diri saya. Saya menyadari satu hal, bahwa hari ini, saya begitu beruntung!
..
Padahal, untuk menjadi sopir harus memiliki mental dan membuang jauh-jauh rasa malu ketika dicuekin penumpang. Agh! Saya teringat lelaki di tempat sampah itu lagi..Apalagi dia…pikir saya.
…
Saya, dengan kebisuan saya, tetap menunggu redanya kemacetan di Jalan Pelajar ini. Macet, sangat macet! Ditambah sopir yang nyeloteh gak karuan membuat saya semakin terpuruk.
Tapi saya sedikit heran dengan diri saya hari ini. Tumben, sangat lapang hati ini dan sangat sabar. Biasanya, saya akan jutek, sewot dan kesel dengan keadaan seperti ini. Macet, berisik, ricuh, panas!
Kali ini beda, saya dengan ‘saya’ yang hari ini, berbeda! Mungkin Tuhan telah membukakan hati saya dengan berbagai manusia yang saya jumpai hari ini. Memang benar, banyak-banyaklah melihat, maka kau akan sedikit berbicara, dan banyak berfikir. Seperti burung hantu.
..
Dan saya juga sadar, inilah yang namanya ‘bahagia’.
Dengan hati yang lapang, jiwa yang damai, pikiran yang tenang dalam kericuhan, kepenatan dan ketidaknyamanan seperti ini. Inilah dia, bahagia.
..
Saya, punya 2 bungkus es jagung. Dan itu, saya letakkan di kop di depan duduk saya.
Ada dua, dan rasanya saya ingin membaginya, sebagai tebusan kebodohan saya yang hanya melihat seseorang makan lahap dengan nasi (bekas) nya tadi.
Saya ingin membaginya dengan supir ini, saya rasa, dia juga pantas merasakannya.
...
Sikapnya yang tidak karuan, celotehannya yang berkepanjangan, ketidaksabarannya selama di perjalanan di tengah kemacetan, membuat saya mengurungkan niat untuk bergbagi es dengannya. Saya Illfeel . Saya kemudian menatap keluar jendela, menatap wajah saya di spion mobilnya, yang penuh dengan kelelahan ( yang saya tau, ini bukanlah seberapa, dari ‘orang-orang’ di jalanan ini ). Fyuuh..
Ya Tuhan, apa yang harus saya lakukan.
Gejolak jiwa muncul dalam dada.
Adu pendapat dan sugesti berperang di dalam diri saya.
‘’Apakah dalam memberi harus melihat orang?
‘’Apakah dinilai pantas tidaknya seseorang itu mendapatkan?
Saya takut. Entah apa yang saya takuti. Saya merasa, saya tidak adil. Orang ‘lapar’ tadi saya cueki, sedangkan orang dengan ‘celotehannya’ ini, ingin saya bagi. Saya sibuk dengan hakim saya.
Mobil pun sedikit-sedikit berjalan dan akhirnya, keluar dari kemacetan yang membuat saya dibawah tekanan seperti ini.
…
Di tengah pikiran saya yang melayang akan hari ini, orang lapar, bapak es, bapak supir berwajah lembut, semuanya, tiba-tiba abang supir menghamburkan lamunan saya.
‘’itu, es apa dek? ‘’ tanyanya kepada saya.
Yang saya yakini sebagai awal percakapan jawaban dari Tuhan akan kegelisahan hati saya.
‘’Es jagung, bang..mau?’’
‘’Eh ga usah, tadi kirain es cendol..’’ Sepertinya dia terkejut dengan reaksi saya.
‘’Mau bang?’’ tanya saya.
‘’Ga usah..ga usah..’’ tolaknya panic.
Saya juga heran kenapa dia begitu panic, padahal saya memang ingin membagi kepadanya sejak tadi, awal saya masuk ke angkotnya.
‘’Kalo saya kasi, mau?’’
Saya dengan kesantaian saya ( baca : lelah ) menawarkan dengan penuh tulus es itu. Dia diam.
‘’hm.. Terserah adek..’’ ucapnya pelan.
Saya mengeluarkan sebungkus es itu.
‘’saya letakkan disini ya..’’
Saya lalu meletakkan e situ di depan jok mobilnya.
‘’ga usah dek..’’ tolaknya lagi.
‘’gapapa..’’ ucap saya.
…
Entahlah, yang saya rasakan, saya merasa nyaman dan tenang. Tenang banget.
Pikiran saya kembali melayang.
Saya teringat cerita, seseorang yang ingin sekali bersedekah dan dia menyedekahkan hartanya kepada orang kaya.
Orang lain marah dan mencibirnya, kenapa dia menyedekahkan orang kaya, padahal banyak orang miskin yangn sangat membutuhkan. Kata hati saya berkata seperti itu..’’ucapnya.
Alhasil, ternyata, orang kaya yang disedekahkannya itu, adalah orang yang pelit, yang karena sedekahnya, orang kaya itu menjadi sadar dan taubat. Subhanallah.
Cerita itu menghibur hati saya. Cara Tuhan menghibur saya, saat itu.
..
‘’Bang, saya turun disitu…’’ tunjuk saya pada sebuah gang.
Dan saya menyodorkan uang 2000 sebagai ongkos.
‘’udah, ga usah…’’ katanya.
‘’ga papa..’’ ucap saya yang lagi-lagi memaksa dia harus menerimanya. Lagian, itu memang kewajiban saya.
‘’makasih ya bang..’’ ucap saya senyum dan turun, sebenarnya cuek, karna saya sangat lelah. Tapi sungguh, sangat bahagia.
‘’Seharusnya abang yang terima kasih, udah dikasi es lagi..’’
Saya tertawa dan kemudian menyebrang, pulang..
…
Bukan hanya 1 hal, tapi banyak hal yang saya pelajari hari ini. Banyak banget. Ini rezeki luar biasa yang Tuhan kasi ke saya. Lagi-lagi, saya geleng kepala, senyum-senyum sendiri atas ini semua. Allah, memang Maha Luar Biasa, caranya!..
Semoga hari ini, menjadi awal (mungkin) untuk saya yang penuh kekurangan ini, menjadi manusia yang sempurna, dihadapan Tuhannya. Amin.
_sepenggal kisah hikmah dari seorang gadis cuek yang ingin memperbaiki diri_
0 komentar:
Posting Komentar