Oh..biarkan
untuk ( tidak ) kali ini, aku menggunakan kata ganti aku. Rasanya lebih pas
dengan apa yang tengah aku rasakan saat ini. Dan biarkan aku sedikit alay
dengan tulisanku kali ini, karena memang, itu yang sedang dirasakan.
Entah
apa yang tetiba terlintas di pikiran. Tentang sebuah pertemuan berujung
kenestapaan. Ah, terlalu lebay sepertinya, ga nestapa juga, setidaknya, sedikit
menyakitkan bahkan aku khawatir, rasa ini bisa hilang atau tetap terkubur
dalam.
Pertemuan
singkat yang hanya dihitung bulan. Aku yang ketika itu lagi gundah dan rusuh
karena sebuah masalah yang aku hadapi, tidak menyangka akan bertemu orang setulus
dan secerdas dirimu. Aku yang tengah banyak tugas dan semuanya berantakan hanya
karena sebuah kata menyakitkan dari seseorang, yang padahal aku tau itu tidak
perlu dipikirkan. Namun aku hanya manusia biasa, yang terkadang bisa menjadi
malaikat, terkadang juga lebih kejam dari syetan. Aku yang pada hari itu
terlambat masuk ke kelas, berusaha mati-matian menaiki tangga, dengan nafas
tersenggal-senggal, berusaha mencapai pintu, agar tidak terlambat barang
semenit dari waktu perjanjian. Sampai di depan pintu, apa yang kulihat, kau
sedang berdiri di depan kelas dan aku tidak pernah melihat kau sebelumnya.
Semua mata melihatku termasuk kau. Aku melihatmu kabur, karena memang, mataku
ada sedikit gangguan. Aku masuk ke dalam kelas dan sang guru menegurku dan
memintaku untuk tidak usah memasuki kelas. Aku terkejut, malu dan sedih. Aku
tau beliau adalah pengajar yang disiplin. Tapi, tidak tahukah dia dengan apa
yang tengah aku alami? Ah, sebagai murid yang berprestasi dan cukup dikenal,
ketika itu aku sangat malu dan ingin menangis. Tidak biasanya aku seperti ini,
mungkin karena beban yang ada di pikiran sudah tidak terbendung lagi.
Kau
melihatku prihatin dan mencoba biasa. Aku tidak tau apa tujuanmu kesini, entah
kau sebagai anak baru, atau hanya seorang sales yang mempromosikan barang
dagangan. Ah bodoh aku. Entah kenapa aku juga ikutan kesal padamu. Aku bersiap
akan keluar dari kelas dengan perasaan yang sangat kesal, sampai tiba sang
bapak memanggilku kembali untuk masuk. Maksudnya apa? Apa dia ingin
mempermainkanku? Sudah menjatuhkan, berusaha untuk menetralkan? Pikiranku
memang lagi tidak jernih.
Kekesalanku
makin bertambah ketika hendak duduk, aku baru sadar semua kursi telah
terduduki. Aku mencoba sedikit menarik nafas dan menutup mata sekejap. Lalu
keluar kelas untuk mengambil kursi dari ruangan sebelah. Kulihat, kau masih
melihatku. Sebenarnya kau melihatku lembut dengan mata sayumu itu, walau tanpa
senyuman. Jujur, matamu saat indah saat aku melihat lebih dekat ketika
berbicara dengan sang guru. Tapi entah mengapa, tatapan hangatmu itu bagikan
tombak yang menancap di hatiku. Terlihat sinis dan tidak bersahabat. Ah,
siapapun kau, aku minta maaf sebelumnya.
Aku
masuk ke ruangan dan kulihat kau tidak lagi berdiri. Aku masih terus kesusahan
mengangkat kursi besi itu. Aku melihat ke seluruh sudut ruangan, namun tidak
ada tempat tersisa untukku duduk. Kelas ini sudah penuh dengan semua murid yang
datang dengan disiplin, tidak sepertiku. Hanya ada dua tempat ketika itu. Duduk
di sampingmu di barisan terdepan, atau duduk di barisan sudut paling belakang.
Gila aja, untuk pelajaran yang tergolong sulit dengan pengajar yang kurang pas
menurutku, sama seperti sia-sia aku datang dan dimarahi jika aku duduk di
belakang. Tapi, aku terlalu gengsi untuk meletakkan kursiku semeja denganmu.
Aku
melihatmu bangkit dan menghampiriku. Ya terkejutlah. Mau apa kau?
‘’Sini, biar aku angkat’’. Ucapmu singkat dan tanpa
senyuman. Tapi walaupun kau tidak tersenyum, kau begitu manis. Ah, mikir apa
sih aku?
Aku cuma diam dan memberikan kursi itu sebagai
pertanda aku juga setuju kau yang mengangkatnya. Kau melihatku sekilas dan aku
juga melihatmu, kita sama-sama tidak memberikan sedekah paling mudah itu. Teman-teman
di kelas juga dingin menatap kita. Kita bagikan dua pemeran yang sedang melakoni
suatu drama dan mereka sebagai penontonnya, termasuk sang guru. Namun, apa yang
kulihat, tidak sedikitpun rasa canggung terlihat dari dirimu, kau begitu tulus.
Ah, mungkin ini hanya penilaian pertamaku, karena kau kasihan melihatku tadi.
Lagi, lagi aku minta maaf, belum bisa menilai jernih sikapmu.
Aku
makin terkejut ketika kau bertanya oh kau tidak bertanya, hanya memberikan
pendapat dengan kalimat singkat namun entah kenapa itu begitu berharga.
‘’Daripada di belakang, duduk di sebelahku aja, kosong’’.
Belum sempat aku mengiyakan, kau sudah membawa
kursiku di tempat dimana kita akan semeja. Lagi-lagi aku tidak melihat ada niat
buruk darimu. Wajahmu yang lembut menandakan bahwa kau orang yang baik. Tulus..
Seharusnya
aku duduk di pinggir dan kau dekat dinding, namun kau memberi isyarat agar aku
masuk duluan dan kau di pinggir. Aku tidak tau apa maksudmu. Dan kita duduk
begitu dekat awalnya, sampai sepertinya kau mampu membaca pikiranku. Kau
menggeser kursimu sehingga ada celah yang cukup lebar di tengah kita. Namun kau
tidak memalingkan wajahmu kepadaku. Entah mungkin kau sangat serius
mendengarkan penjelasan sang guru. Kau tahu, ketika kau melakukan itu, aku
merasa sangat terhormat.
Pelajarannya
begitu membosankan dan aku rasa kau juga siswa lain merasakannya dengan kulihat
mereka sibuk mengobrol kecil dan ada yang BBMan. Kau memalingkan wajahmu
sedikit namun tidak melihat sepenuhnya. Hanya melihat kesamping dengan sudut
mata. Kau bertanya singkat yang membuatku mencoba menetralkan jantung yang dag
dig dug. Mungkin aku terlalu GR dengan perhatian dari lelaki tampan sepertimu (
perhatian? Ya, mungkin sedikit bisa dikatakan ).
‘’Nama kamu siapa?’’ Ucapmu tanpa melihatku.
Aku menjawab singkat nama panggilanku dan kau menebak
tepat nama panjangku. Aku tersenyum dan rasa gundahku tadi kini berubah sedikit
lebih baik.
‘’Kamu?’’ tanyaku balik.
Kau menjawab nama panjangmu dan nama panggilanmu.
Aku mengenal nama itu, tidak asing di Indonesia. Bukannya aku sok tau, tapi
setauku, potongan nama belakangmu merupakan kekasih seorang wanita yang
merupakan namaku. Aku mengatakan itu dan kau tersenyum.
‘’Jangan-jangan jodoh.’’ Ucapmu santai namun
membuatku terdiam cukup lama untuk menyaring ulang kata-katamu. Apakah maksudmu
itu kita? Aku mencoba memenej hati yang mulai ga karuan itu. Namun kulihat kau
biasa saja. Kurasa, kau hanya bercanda.
Kau tau, kau begitu tampan, maaf jika aku lancang
memujimu. Tapi, begitulah yang aku lihat. Wajahmu begitu lembut dan hangat,
ditambah dengan sikap sebagai kesan pertama yang sangat baik menurutku. Dan
ketika itu juga, aku ingin mengenalmu lebih. Oh, ya, aku tidak ada maksud
apa-apa, aku hanya terkesan dengan attitude
mu yang mempesona bagi seorang wanita sepertiku.
Aku
menahan segala bentuk pertanyaanku padamu. Ah, kau! Mengapa kau mengeluarkan
kata-kata yang sampai detik ini masih bersarang di pikiranku. Jujur, niatku
untuk mempelajari pelajaran ini sudah melenceng karena kata ajaib atau mungkin
ucapan kotormu sebagai awal perkenalan.
‘’ Kamu bukan orang sini ?’’ tanyamu tiba-tiba
menghancurkan lamunanku.
‘’Bukan..’’ Ucapku santai. Maksudku mencoba santai.
Oh ya, kau juga harus tau, walaupun seperti ini, aku mampu memanipulasi semua
apa yang ada di hatiku dengan sikapku. Mungkin aku terlihat cuek dan ga mau
tau.Tapi, jika kau mampu mendengar isi hati, aku ingin sekali mengajukan beribu
pertanyaan untukmu. Tapi, tetap, kau bukan Tuhan.
Aku
mencoba memberanikan diri menyapamu, karena sepertinya, kau memang orang yang
baik.
‘’Kamu?’’
tanyaku
yang aku bingung juga bertanya tentang apa.
‘’Maksudnya
aku kenapa?’’ Ucapmu yang memang sepertinya kau mampu
membaca pikiranku. Hei, jangan-jangan kau illusionist? Atau kau seorang dukun?.
Aku terdiam dengan pertanyaan konyolmu itu. Kau terlihat menjebakku, namun
kurasa aku keliru.
‘’Aku
cuma sebentar disini, paling 3 bulan. Ada tugas sedikit yang mengharuskan aku
ke tempatmu ini. Kalo udah selesai, aku balik..’’
ucapmu santai, tidak terburu-buru dan tidak terlalu lamban. Pas. Dan kali ini
kau sambil melihatku dan tersenyum kecil.
Oh, Tuhan. Aku terdiam. Kau sungguh begitu tampan.
Aku segera membuang pandanganku darimu dengan berpura-pura membolak-balik buku.
Seperti yang kubilang, aku pandai memainkan peran. Dan kembali menetralisir
keadaan hati. Aku tidak ingin persahabatan kita ( persahabatan? Mungkin awal )
hancur ketika kau tau bahwa aku mengagumimu sejak awal.
‘’Kamu
mau kan membantuku selama disini? Mungkin, sebagai guide lah..’’
Ucapmu dengan sedikit tertawa.
Aku juga tertawa kecil. Dunia seakan milik kita
berdua. Namun aku tidak menjawab. Kurasa, untuk seorang yang mampu membaca
pikiran sepertimu, dapat mengetahui jawabannya tanpa harus kukatakan.
Kau sungguh curang dan licik. Atau mungkin cerdas.
Bagaimana mungkin daritadi kita mengobrol, namun tidak pernah kena sasaran
teguran sang guru, padahal yang lain, sudah daritadi kena. Kurasakan kita
memang pasangan. Pasangan kekasih sesuai legenda dan pasangan yang mampu
bermain lakon, menutupi segala bentuk perasaan satu sama lain.
Hari
pertamaku mengenalmu begitu bahagia. Dan masih kuingat, ketika jam istirahat
yang hanya 15 menit, kau mengajakku ke kantin karena kau tau aku belum
memasukkan sesuap nasi ke dalam lambungku tadi pagi. Entah darimana kau dapat
menebaknya. Kurasa, kau memang penyihir.
Walaupun
begitu, kau tidak menutup diri dengan yang lain. Terkadang kau juga bergabung
dengan mereka dan kau sangat supel, namun tetap menjaga kewibawaanmu ketika
kumpulan teman cewekku habis-habisan menggodamu. Namun kau tetap santai yang
membuat semua wanita mungkin klepek-klepek melihatmu. Bagiku, kau yang sudah
beberapa hari ku kenal, kau tetap membanggakan di depanku, dan semoga,
dibelakangku.
Kau jarang atau bahkan tidak pernah tepat membuatku
kecewa. Terkadang aku cemburu melihatmu yang coba didekati wanita lain dan
bahkan aku mendengar bahwa kawanku sendiri menyukaimu. Jujur, aku sakit hati
dan ingin marah. Tapi marah kenapa?
Dan sikapmu, emotional quotionmu yang sangat bagus,
mampu membaca perasaanku. Kau bisa saja untuk membuatku untuk tidak bersuudzan
dengan orang lain. Kau lembut, hangat namun tegas dan bertanggung jawab.
Kurasa, kau juga orang yang setia.
Lagi-lagi maafkan aku, mungkin aku memang terlalu
terbawa perasaan. Aku begitu lemah dan luluh jika bersamamu. Karena kulihat kau
begitu tulus sebagai seorang yang cukup diidolakan sebagai ‘anak baru’
sementara.
Kau
tidak hanya tampan, baik dan cerdas. Tapi dengan kecerdasanmu itu, kau mampu bersikap
dengan sangat baik kepada siapapun tanpa merusak kehormatan dan harga diri,
terutama untukku. Entah mengapa aku ingin sekali mengatakan kalimat yang aku
tidak berani mengatakannya. Cuma 5 huruf memang, tapi begitu sulit.
Mungkin sudah 2 bulan ini kita selalu bersama, tidak
pernah sedikitpun kau menorehkan tinta kekecewaan padaku. Bahkan kau sangat
menghormatiku sebagai seseorang yang mulia di hadapanmu. Kau pandai sekali
menanggapi berita-berita miring tentang kita. Kau tetap santai, wibawa tanpa
harus menjauhiku dengan pendapat orang-orang itu.
Dan baru kali ini aku menghitung-hitung waktu
kepergianmu yang tinggal sebulan lagi. Ingin rasanya aku memintamu agar kau
belajar disini bersamaku dan aku mulai membenci perpisahan ini, yang pada
awalnya, aku tidak menggubris kata-katamu yang cuma 3 bulan disini.
Rasanya
aku ingin menangis dan sepertinya aku menangis di malam itu. Rasanya sakit
sekali jika membayangkan kita akan berpisah dan mungkin tidak bertemu lagi
karena jarak yang tidak begitu jauh sebenarnya jika dilalui dengan pesawat.
Kita masih dalam satu negara hanya beda pulau. Dan sebagai orang biasa, aku berharap tentangmu kepada Sang Maha
Pemberi Cinta.
Apa
yang kulihat ketika itu menambah getaran cintaku padamu. Ketika aku melewati
mushalla, awalnya aku hanya mendengar isak tangis. Aku mencoba melihat ke arah
tempat lelaki shalat walaupun sebenarnya aku ragu. Kulihat sosok yang sedikit
kabur namun karena aku penasaran, aku memakai kacamataku. Kulihat kau begitu
khusyuk dan berdoa dengan air mata yang mengucur deras. Kau pandai sekali
mengambil waktu bermunajat, ketika mushalla benar-benar sepi dan tidak ada
siswa yang datang dan ketika itu, bukan kebetulan, aku hendak mengambil tempat
minumku yang ketinggalan. Aku melihatmu begitu tulus meminta pada Illahi
walaupun aku tidak tahu apa yang kau pinta. Dan seketika itu juga, tanpa
kusadari, air mataku juga jatuh di ujung mata. Aku melihat sebuah kejadian yang
sangat mengharukan, ketika seorang hamba merasa dirinya sangat rendah dan
memohon dengan semohon-mohonnya pada Tuhannya. Aku malu melihatmu seperti itu
dan merasa aku tidak pantas untukmu. Kulihat sisi lain darimu, sebagai seorang
pangeran yang perfect, begitu dikagumi kaum hawa, dan berpenampilan mempesona,
kau begitu religious. Walaupun kau tidak menampakkannya. Dan aku menyaksikannya
secara langsung tanpa kau harus menunjukkannya. Tapi Tuhan yang menunjukkan itu untukku.
Seperti
layaknya di sinetron, entah mengapa aku berjalan tidak focus sampai aku menabrak
sebuah tempat lampu di halaman mushalla. Suaranya cukup keras dan aku takut aku
mengganggumu. Tapi kurasa iya. Ketika aku sibuk memegangi pundak dan masuk ke
tempat shalat wanita, kau menegurku dari balik hijab.
‘’Belum
pulang?’’ tanyamu santai.
Aku tau hari sudah hampir gelap dan aku melihat jam
sudah menunjukkan hampir pukul 6 sore.
‘’Maaf,
tempat minumku ketinggalan..’’ ucapku sedikit takut. Aku
takut aku mengganggumu dan mempermalukanmu.
‘’Kamu..gak
kenapa-kenapa kan?’’ tanyaku ragu yang tanpa sadar ternyata
air mataku mengalir. Untungnya di balik hijab, hingga kau tidak mengetahui
keadaan wajahku saat ini. Aku berusaha menahan-nahan gejolak emosi mengingat
waktumu yang sebentar lagi meninggalkanku.
‘’Aku
tadi lagi doa dan terhanyut. Yaudah, udah sore. Mending kamu pulang.’’
Ucapmu begitu menenangkan dan aku sadar dan mengambil kesimpulan berani, bahwa
kau tidak marah padaku.Aku tidak ingin bertanya dan menduga yang macam-macam
tentangmu. Kau begitu baik dan membuka wawasanku. Dan karena merasa bersalahku karena
mengganggumu aku segera mengiyakan apa perintahmu dan berjalan cepat menuju
motorku tanpa melihatmu. Karena aku tidak mau kau tau bahwa aku menangis dan
kurasa kau pun mengetahuinya, sang pembaca pikiran.
Dan
akhirnya, kita berpisah
Dan
waktu yang tidak kuinginkan akhirnya datang. Saatnya kau pergi dari sini karena
kontrak waktumu sudah habis. Untuk pelajaran terakhir, aku tidak ingin
menyia-nyiakan sosokmu. Aku melihatmu diam-diam tanpa seorang pun yang tau dan
merekam segala bentuk tentangmu untuk terakhir kalinya, padahal selama ini, aku
selalu melihatmu. Aku tidak mungkin meminta fotomu dan akupun tak mau melakukan
itu.
Aku
teringat pertama kali kita bertemu, kita duduk semeja dan kau menghibur hatiku
secara tidak sadar atau bahkan sangat sadar. Aku teringat ketika masuk
laboratorium kimia, kau memarahi dengan lembut untuk keluar dari ruangan yang
penuh pekat dengan bau HCl. Aku teringat ketika kau mentraktirku karena kau kalah
taruhan ketika kita mencoba menjawab soal hitungan dari seorang guru. Aku
teringat ketika hatiku sangat sakit melihat kau dekat dengan wanita lain dan kau
sepertinya mampu membaca dengan langsung mendatangiku dan bertanya tentang
sesuatu mengalihkan hatiku. Aku teringat kau yang cerdas secara intelektual,
emosional dan spiritual. Kau memang manusia paripurna.
Dan
di detik terakhir keberangkatanmu, kau minta berjumpa denganku. Sebenarnya aku
tidak mau, tapi aku juga tidak ingin perjumpaan terakhirku denganmu sangat bad ending walapun akhirnya memang harus
begitu.
Setelan gayamu untuk terakhir kali kulihat sama
seperti setelan gayamu ketika pertama kali kita bertemu. Mungkin kau ingin
memperkuat ingatanku tentangmu dan bukan kebetulan aku juga memakai jilbab dan
pakaian yang sama ketika kita pertama kali saling sapa. Kau memakai kaos coklat
dengan kemeja biru terbuka. Jeans longgar juga sepatu kets. Gaya rambutmu tidak
menandakan bahwa kau adalah sosok yang cerdas secara agama. Bahkan gayamu
terlihat seperti anak-anak gaul yang cool seperti kota tempatmu berasal. Kau
pandai menutupi kesholehanmu.
Dan
jelas, kita tidak bertemu di tempat sepi dan hanya berdua. Kau bersama temanmu
dan supir yang akan mengantarmu ke bandara dan aku sendiri.
‘’Aku
pulang ya, tetap semangat..’’ ucapmu singkat dengan
kesantaianmu. Kau melihatku lama seolah kau juga ingin merekam sosokku, walau
aku merasa sangat grogi ketika itu.
Aku tak sanggap melihatmu dan cuma menggeleng kecil.
Mungkin terlalu kekanakan. Kuakui memang.
‘’Jika
diizinkan, kita akan bertemu, lagi’’. Ucapmu singkat,
jeals, padat.
Kau tidak memberikan harapan banyak padaku, tapi
sungguh aku berharap Sang Pengabul Doa mengabulkan harapanmu, juga harapanku
itu bahkan lebih, aku ingin Tuhan menghalalkanku untukmu.
Aku tetap diam dan mengalihkan pandangan. Aku sadar,
sepatah kata saja aku berkata, air mata ini pasti jatuh. Aku coba terus tahan
sampai akhirnya kau pergi dari hadapanku.
Kau pun tidak banyak bicara dan memberikan sebuah
kotak kepadaku. Aku menerimanya dengan gejolak emosi yang menggebu-gebu.
Tangisku sudah hampir pecah dan mencapai puncaknya. Tapi, tetap kutahan. Aku terlalu
gengsi.
‘’Assalamualaikum..’’
ucapmu sambil tersenyum kecil.
‘’Wa’alaikumussalam..’’
jawabku pelan.
Dan
detik terakhir ini, akhirnya kita berpisah.
Kau masuk mobil dan aku terus melihat mobil yang
membawamu sampai kau tidak terlihat. Aku sudah tidak tahan dan aku menangis.
Aku ambil motorku dan di sepanjang jalan aku menangis. Air mataku sangat deras.
Sampai di rumah aku masih menangis dan aku langsung masuk ke kamar dengan
perasaan yang sakit sekali. Aku seperti baru saja kehilangan separuh hatiku. Aku
berharap bahwa ini semua hanya mimpi dan aku memprotes Tuhan. Jika akhirnya
kita berpisah, lebih baik kita tidak usah bertemu ataupun kalau bertemu hanya
sekedar bertemu, tidak sampai kau melekat di hatiku. Siapa kau?
Aku
menangis sepanjang hari sampai malam. Mungkin terkesan lebai tapi inilah yang
aku rasakan. Sakit sekali. Aku terus beristighfar dalam solat dan tangisku. Aku
tau mungkin aku berlebihan. Hanya saja, tidak ada sedikitpun kenangan ku
bersama kau. Kita tidak saling menukar nomor HP, aku juga heran bagaimana mungkin.
Aku mencoba mencari namamu di jejaring social. Dapat, hanya saja, kurasa itu
bukan kau. Tapi aku keliru, setelah aku mencarinya dengan cukup susah, akhirnya
aku mendapatkan.
Bersama
kesulitan, ada kemudahan.
Aku melihat tentangmu di jejaring social itu. Aku
tidak menemukan satu foto pun wajahmu atau setidaknya sosok dirimu. Aku hanya
melihat nama, tanggal lahir, kota asal, tempat dan sebuah kata di jejaring itu,
‘’ Fabiayyi alaa irabbikumaa tukadzibaan’’
yang kau jadikan sebagai quotes mu. Aku semakin deg-degan dan quotes kita sama.
Apa ini kebetulan? Tentu tidak.
Aku melihat status terkahirmu, dimana tanggalnya
adalah seminggu sebelum kita berpisah.
‘’
I will meet you again, as soon as I can.’’
Aku tidak tau kalimat itu ditujukan untuk siapa.
Hanya saja hatiku berdebar-debar dan aku berharap itu untukku. Aku membuka
kotak pemberianmu dan hanya ada sebuah cincin disitu, tidak ada surat atau
tulisan terakhir. Setidaknya kau memberiku alamat emailmu dan kucari emailmu di
jejaring social tidak ada. Kurasa, kau menyembunyikannya. Kau sudah tau mungkin
apa yang akan terjadi. Dan inilah yang terbaik yang Tuhan berikan pada kita.
Setiap
mengingatmu ada perasaan sakit dalam hatiku. Rasanya aku ingin melupakanmu
namun aku tak kuasa. Bagiku kau sosok sempurna yang pernah hadir dalam cerita
hidupku, walaupun sementara. Entah bisa aku bertemu kau lagi atau setidaknya
replikamu. Hubungan kita benar-benar putus sejak perpisahan itu. Aku tidak tau
bagaimana menghubungimu. Namun, segala doa aku hanturkan tentangmu agar Illah
selalu menjaga kesucian hati dan dirimu disana.
Untukmu yang disana, Maafkan jika aku mengatakan
ini,
Aku mencintaimu, karena Allah.
@diyasang
0 komentar:
Posting Komentar