RSS

Cinta (1)


‘’ Adalah hal terbodoh jika kita membohongi hati untuk tidak mencintai seseorang’’.
Kalimat itu membuatku diam sesaat dan bertanya, ‘’ Kalau untuk kebaikan?’’
‘’Kebaikan yang bagaimana?’’
Aku diam. Mencoba memikirkan kebaikan yang aku maksud.
‘’Menjaga hati!’’. Ucapku mantap.
‘’Menjaga hati bukan berarti tidak mencintai. Cinta itu fitrah’’.
Lagi-lagi aku diam. Aku menggigit bibir dan mengerutkan kening.
‘’Aku Cuma mau mencintai secara dewasa. Mencintai layaknya Fatimah mencintai Ali. Aku cuma mau ‘dia’ juga hanya mencintaiku. Jadi aku harus menjaga cinta untuknya’’. Dengan mantap juga aku menjawab pertanyaan itu.
‘’Dia?’’
‘’Iya, dia. Dia yang namanya sudah tertulis untukku. Dia yang juga aku yakini pertemuannya nanti. Dia yang dipilihkan Tuhan untukku’’.
‘’Siapa?’’
Aku Cuma senyum.

…………………………….
            Terinspirasi dari tulisan seorang teman, aku jadi ingin menuliskan tentang cinta juga. Cinta ga ada habis-habisnya kalo dibahas.
Kalau ditanya apakah aku pernah jatuh cinta?
Jawabannya iya.
Kalo cinta pada pandangan pertama?
Aku rasa belum. Entah kenapa aku meyakini, bahwa kekasihku nanti, dialah cinta pertamaku.
Selama ini?
Cinta kedua, ketiga…#loh?

            Sebenarnya aku tidak pernah merasakan jatuh cinta seperti yang sebenarnya kepada seorang lelaki. Jika ada rasa lain di dalam dada, aku biasa menyebutnya suka atau kagum. Bukannya aku takut jatuh cinta sih, emang apa alasan aku untuku takut juga?

            Temanku waktu di SMA pernah menasehatiku agar jangan takut jatuh cinta. Aku heran, kenapa dia bisa mengirimiku pesan seperti itu. Ketika kutanya, ‘’Maksudnya?’’
Dia jawab, ‘’ Buka matamu, ada orang yang mencintaimu. Tapi kamu terlalu cuek dan tidak peka’’.
Daleeem. Yang buat aku tersentak Cuma kata-kata terakhir itu. Cuek dan Tidak Peka. Sebegitunyakah…???
           
            Ada orang yang mencintaiku? Ehm, aku tidak pernah sadar akan hal ini. Kalopun sadar, aku nganggapnya biasa aja. Kurasa bukan cinta, tapi kagum.
            Sama seperti si A. Dia ini dulu temanku waktu di sekolah ( SD, SMP, SMA? ), yang penting masih sekolah. Ketika tamat-tamatan sekolah. Kami tidak pernah bertemu lagi untuk sekian lamanya. Suatu hari, kami mengadakan reuni. Sebenarnya aku cukup canggung kalo harus datang ke reuni itu. Karena aku jarang berkomunikasi lagi dengan mereka. Yah, melihat penampilanku yang udah berubah, teman-temanku keheranan melihatku. Haduh, teman-temanku sekaliaan,, saya ini masih kawan kalian yang dulu. Jangan liat saya seperti ngeliat Cinderella gitu donk..( *gubrakkK.

            Nah, salah satu yang takjum *kita anggap aja seperti itu* ya si A itu. Eh, eh, btw, A itu nama inisialnya ya? Emangnya kalo aku buat A, berarti nama inisial? Terus kalo aku mau buat B, C ,D? -_-‘’
Itu hanya INISIAL! #Loh?
Maksudnya Cuma sebutan aja, sebagai awalan abjad.

            Ketika reuni itu aku lagi duduk-duduk, dia datang dan duduk disebelahku. Dia nanya-nanya kabar, begini begitu, pake curhat juga, ya, aku dengerin aja sambil jawab, ‘’oh’’, ‘’iya’’, ‘’heem’’,’’oh..’’ gitu deh pokoknya. Ya aku teringat waktu jaman sekolah dulu, kami itu saingan berat. Beraaat banget seberat semut. Pokoknya berat deh. Ceritanya, saingan masalah ranking. Dari kelas 1 sampe 2 semester 1, selalu dia ranking 1 dan aku ranking 2, ga pernah berubah-ubah. Dan itu membuat dia menjadi seseorang yang sangat angkuh, sombong dan sok pintar *padahal emang pinter.
Bayangin aja, kalo ngerjain soal Matematika kedepan, dia Cuma ngeletakin jari telunjuk di pelipis sambil merem, udah ketemu jawabannya. Aku pernah mencoba hal itu tapi ga pernah berhasil ya? What’s wrong??

            Pokoknya kami jarang komunikasi secara baik-baik. Kalo ketemu, pasang muka paling masam. Kalopun senyum, senyum licik. Saling membuang muka dan saling iri-irian. Di kelas aja aku paling males kalo udah ngeliat dia. Padahal kalo dipikir-pikir, cakep juga anaknya. Tapi karena ngeselin kayak gitu, ampun deh.
            Jadi suatu hari, dia kembali membanggakan rankingnya, pas pula di depan aku. Saking palaknya, aku bilang ke dia dengan penuh keyakinan dan ketawadhu’an, ‘’ LIAT AJA, SEMESTER 2 NANTI, AKU YANG RANKING 1! CAMKAN ITU!’’ Ucapku lantang sambil nunjuk-nunjuk mukanya. Kulihat mukanya diam dan memerah karena geram. Aku takut juga sih, kalo ga ranking gimana? Ah yang penting gaya aja dulu. Yang penting dia mati kutu dulu. # Aku rupanya cocok juga ya jadi motivator.

            Tedeeeeeeeeeenngggg!!! Pengumuman ranking kelas di lapangan sekolah.
Untuk kelas 2B, juara 1 adalah SANG DIAH PITALOKA, Juara 2 si A, Juara 3 si B. Kupingku terbang begitu namaku disebut. Serasa ga percaya. Wow, aku ranking 1 boy. Aku senangnya minta ampun. Karna kalo ga salah yang dapet ranking 1 dapat beasiswa gitu. Aku ketawa. Hahahaha. Ga nyangka, bo’. Akhirnya aku bisa melepaskan title ranking 2, yah walopun Cuma untuk semester ini, mungkin.
Aku, si A da teman yang lain maju ke lapangan. Aku masih senyum kegirangan. Aku ngeliat kearah A, mukanya asemnya minta ampun. Ga ada senyumnya. Mukanya gondok, palak, ga tau lah. Dan itu membuat aku semakin senang dan senyum-senyum ga jelas. ‘’Rasain, lo!’’ Ucapku dalam hati.*kok ngerasa kayak setan ya? (_,,_ )’’

            Ketika dalam barisan penerimaan penghargaan, kami dibariskan sejajar ke belakang. Dengan kata lain, dia berdiri TEPAT di belakangku. Aku terus menggodanya dengan senyum-senyum penuh kemenangan yang membuat dia semakin gondok. Terus aku juga bisikan dia, ‘’Lihat, kan?’’ Ucapku senyum-senyum. Sebenarnya ada 2 hal yang membuatku senang pada hari itu, yang pertama aku bisa mendapatkan rangking 1, yang kedua aku bisa mengalahkan si A.

            Kembali ke kelas, semua teman-teman menyalamiku. Memberikan selamat. Tentu donk, aku menyambutnya dengan sumringah semeriwing. Pas tiba giliran dia, aku mau masuk kelas tuh, dia lagi duduk di kursi di depan kelas. Dia menjulurkan tangannya sambil bilang dengan terpaksa dan muka yang kesal, ‘’selamat ya!’’. Aku kaget. Ga kusangka dia bakal ngucapin juga untukku. Aku menyambut salamannya sambil mengatakan, ‘’makasih!’’. Tapi sebelum hal itu terjadi, dia duluan menarik tangannya, alias ketika aku mau salam, dia narik tangannya sambil buang muka dan pergi. Aku terdiam. Kesal, dan…sedih sih. Aku juga berharap dia memberiku selamat. Sebenarnya di sudut hatiku yang lain, aku tidak ingin membuatnya seperti itu. Dia pasti kecewa dengan dirinya, karena aku tau dia orangnya ambisius. Yah, kalo harus jujur, aku pernah menyukainya karena dia pintar. Tapi yasudahlah.
            Insiden ranking itu semakin merenggangkan hubungan kami. Sampai suatu hari, ketika lagi main bola kasti, aku dan dia berada pada kelompok yang berbeda. Ketika itu kelompokku yang main dan, kami menang. Kata mereka kawan kami curang, tapi aku ga tau. Tibalah giliran aku memukul bola dan ketepatan banget  dia yang melempar bola. Sebelum permainan dimulai, kayak di sinetron-sinetron, kami tatap-tatapan dulu dengan sinis. Aku cuek aja. Sampai peluit dibunyikan. Tapi tunggu, sebelum peluit dibunyikan dan aku belum siap-siap, dia melempar bola kearahku dengan sangat kuat. Refleks aku buang pemukul dan nangkap lemparannya yang hampir mengenai perutku. Aku berharap agar bola itu kena aja ke perutku, pasti dia merasa bersalah. Aku marah sambil nunjuk-nunjuk dia, ‘’heh, maksudmu apa? Kalo sampe kena perut tadi gimana? Mau tanggung jawab?’’ Mukaku memerah saking kesalnya. Panas lagi di lapangan. Dia juga marah-marah sambil ga kalah nunjuk-nunjuk, ‘’Kamu tu curang! Kelompokmu curang!!’’. Aku bales dong, ‘’Heh, kalo udah kalah ya kalah aja! Hah!’’ . Dia pergi dengan wajah kekesalan dan aku Cuma bisa ngeliatin dia dengan wajah yang ga kalah penuh kesal. Anak itu memang ajaib, masak Cuma gara-gara ranking, dia hampir mencelakakanku seperti itu.
           
Sebenarnya sih, pertengkaran kami ga selamanya serem kayak gitu. Ada hal yang lucu juga. Aku malu sih nyeritainnya, karena aku pelakunya. Hahaha.
Ketika itu, kami baru pulang dari rumah seorang teman yang dilanda musibah. Aku dan 3 orang temanku beserta si A pulang naik angkot. Aku senyum sinis karena ada dia juga disini. Mukanya tu gondok banget karena harus seangkot denganku. Aku malah godain dia, sambil bilang, ‘’aduh..senyum donk. Mukanya merengut aja ya dari tadi, jelek loh..’’ Hahahah. Diiringi ketawa teman-temanku. Dia melihatku sinis dan diam dan aku membalas tatapannya dengan senyum cengingisan yang membuat dia semakin gondok dan membuang muka.

            Jadi, ceritanya aku dan 3 temanku lagi minum es cendol dan si A duduk tepat di depanku. Karena kami sibuk godain dia dan ketika lagi minum, aku tertawa dan menyembur TEPAT di mukanya. Aku menutup mulut pake tangan, bingung mau ketawa atau takut. Kuliat mukanya semakin memerah dan marah-marah. ‘’Ih, apaan sih? Jorok banget jadi cewek!!’’ Ucapnya sambil mengelap mukanya.
Aduh, aku malu banget tau ga. Tapi tetep bela diri. ‘’Namanya ga sengaja! ‘’. Sambil sok-sok baik membersihkan bajunya. ‘’Ga usah!’’ Ucapnya marah. Teman-temanku yang lain menahan tawa. Dia masih terus marahh-marah sampai salah seorang kakak penumpang lain menasehatinya, ‘’temannya kan cuma bercanda, dek, dia ga sengaja…’’, Makin terbanglah aku dibela kayak gitu.
‘’Jorok kali dia kak..!’’ Ucapnya kesal.
‘’Ah, Cuma cendol, kok!!’’ ucapku nahan ketawa plus MALU.
           
            Sebenarnya dibalik kekesalanku padanya, aku juga menyukainya, ya karena dia tadi itu, pinter! Jadi pas turun dari angkot, aku mengelap tasnya dan menawarkan untuk mencuci bajunya,
‘’sini bair aku cuci. Maafla, ga sengaja!’’ ucapku gengsi.
‘’Udah ga usah! Kamu ada-ada aja!’’ Dia langsung pergi.
            Oh ya Allah, aku langsung diam. Sebenarnya aku ga sanggup harus buat jahil sama dia. Tapi ya gimana lagi?
            ………………………..

            Ingatan itu tidak pernah terlupakan dariku melihat dia yang berbeda sekarang. Berbeda secara fisik sih, makin cakep. Hahaha. Astaghfirullah. -_-‘’

            Dia juga pernah bela-belain datang ke sekolah lanjutanku untuk sekedar ingin berjumpa denganku. Hm? Ya sudahlah.

            Udah hampir 3 tahunan ga ketemu, dan aku dapat kabar dia lulus di sebuah perguruan tinggi ternama di Indonesia. Bukan perguruan tinggi sih, tapi Sekolah Tinggi. Aku bangga banget sama dia. Aku pun menelponnya untuk mengucapkan selamat. Tapi ternyata, dia tidak sesenang orang-orang yang mendengar kelulusannya. Dia galau. Dan untuk pertama kalinya setelah tidak lama bertemu dan berkomunikasi, kami berkomunikasi sangat baik ketika itu. Dan pada saat itu juga aku sudah hijrah, Alhamdulillah.
Aku meminta dia untuk meminta yang terbaik sama Allah. Apapun itu. Dia menyetujuinya.

            Suatu hari dia menelponku untuk sekedar bercerita tentang keputusannya. Aku senang dia udah dapat yang terbaik. Sampai di suatu pembahasan yang membuat jantungku dag dig dug.
Dia mengatakan bahwa dia mau menikahiku. Aku terdiam. Perasaanku ga karuan. Tiba-tiba suasana kamarku terasa panas.
‘’Jangan main-main!’’ Ucapku.
‘’Aku ga main-main, bagaimana?’’ ucapnya jelas.
Aku cukup panic dan ga tau harus bilang apa. Aku masih sangat muda untuk menjawab hal semacam itu, ketika itu.
‘’Bagaimana bisa?’’
‘’Aku yakin bahwa kamu istriku. Aku yakin kamu akan menjaga anak dan hartaku!’’.
GLEK. Bahkan aku ga bisa menelan ludahku sendiri. Dalam hatiku berkata bahwa dia udah mikir sejauh itu. Anak, harta? Apaan? Aku belum bisa!
‘’Aduh..kita masih muda. Aku ga mikir kesana! ‘’ Ucapku ngeles.
‘’ Dari sekarang dipikirkan..’’ ucapnya.
‘’Kamu, kenapa mau menikahiku? Bukannya kita dulu musuhan?’’ Pertanyaan bodoh keluar dari mulutku.
‘’Hm…*dia diam cukup lama*.. Aku juga ga tau, ya mungkin karena itu. Sejak pertama aku melihatmu waktu reuni itu, hatiku berkata seperti itu’’. Ucapnya.
Aku semakin terdiam. Rasanya aku ingin cepat-cepat menutup telpon ini.
Aku tarik nafas.
‘’Ga mungkinlah, entah aku Cuma pelarian..’’ ucapku mengelak.
‘’ Enggak…’’ ucapnya.
‘’Jadi?’’ ucapku.
Dia diam lama.
‘’Halo?’’
‘’Iya..pokoknya bukan karena pelarian.’’ Ucapnya.
‘’Jadi?’’
‘’Aku mencintaimu, puas?’’
DUG! Kayak disambar petir. Tak kusangka, kekagumanku dulu padanya akhirnya terbalas seperti ini. Tapi sekarang, aku biasa aja padanya. Aku bingung untuk menerimanya, tapi berat untuk melepaskannya ( kutipan dialog Anna Althafunnisa ).
‘’Gimana?’’ tanyanya.
‘’Kalau serius, temui orang tuaku!’’ ucapku.
‘’Aku minta jawaban darimu dulu, sama aja kalau nanti aku temui ayah-ibumu, kalau akhirnya kamu memang tidak menerimaku, sama saja’’.
Entah kenapa ketidakyakinanku semakin kuat padanya mendengar penjelasannya. Bukankah cinta bisa datang saat itu juga. Bagaimana dia yakin aku tidak menerimanya? Aku diam.
‘’Kalo kamu setuju, aku langsung buat proposalnya’’.
Gila, emang dia mau lamar pekerjaan?
‘’Oke, aku mau menikah, tamat kuliah, bagaimana?’’ tanyaku lagi.
‘’Waduh, aku masih muda x. Belum bekerja pun mungkin. Tunggu sampai umurku 27, gimana?’’
Dan yah, entah kenapa lagi aku semakin tidak yakin padanya. Tapi seperti yang kubilang tadi, berat jika harus mengatakan tidak. Sampai kapan aku harus menunggumu? Bagaimana jika tidak berjodoh?
‘’Ya sudahlah, kalau jodoh, kita pasti ketemu.’’ Ucapku akhirnya.
‘’Jadi?’’ tanyanya.
‘’Ya liat aja nanti. Aku pun ga bisa menunggumu seperti itu’’. Ucapku mantap. Dia diam.
‘’Aku mau kamu menghapal surat X ( aku menyebutkan sebuah surat di dalam Al Quran ) sebagai syaratnya, bagaimana?’’ Dia diam.
‘’Oke.’’ Ucapnya. ‘’ Kalau aku hapal, maka kamu akan menikah denganku’’.
Aku sadar bahwa surat itu terlampau mudah dihapal, karena aku pun bisa menghapalnya.
Lalu aku menawarkan surat yang lebih panjang. Dia menjawab, ’’susah banget itu. Yang tadi aja..’’ ucapnya.
‘’Yang tadi kemudahan. Kalo ga mau ya udah..’’ ucapku.
Dia diam cukup lama dan OKE!
Giliran aku yang diam cukup lama. Bagaimana mungkin aku berani memberikan syarat seperti itu. Kalau saja dia mampu menghafalnya, aku harus menepati janjiku. Dan pada saat itu aku sangat polos. Dan sekarang, aku meminta petunjuk Allah untuk ketetapan hati. Jikapun harus iya, jikapun kami ditakdirkan memang bersama, maka jalan itu pasti dipermudah. Baik Allah akan mempermudahku dan mempermudah dia.
            Huuft. Dan sekarang, kami lost contact. Karena dia di seberang pulau denganku. Aku yakin dia tidak menyimpan nomorku lagi, karena aku pernah menghubunginya, dia tidak mengenalku. Dan kulihat dia sedikit berubah lebih dewasa dan bijak ketika terkahir kali kami berkomunikasi. Yah, yang terbaik untukmu, kawan. Juga untukku.
            Yah begitulah salah satu kisah cinta. Semoga dapat dimabil pelajarannya. Masalah apakah aku menerimanya atau tidak, itu jawaban antara aku dan Tuhan. Biarlah Tuhan yang menyelesaikannya. J
Hohoho.

Bicara tentang cinta, aku tidak tau apakah memang pesonanya yang memikat, atau akalku yang sudah tidak lagi di tempat.’’ ( Buku Cinta Kita Beda ).

Salam sayang,

@diyasang


  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar: