RSS

Aku bukan Akhwat.., thanks! (1)


Kepalaku sudah hampir pecah setiap kali harus mendengar teriakan, pertengkaran, keributan di rumahku –yang sudah kuanggap seperti neraka- ini. Kalau tidak pertengkaran adik pertama dengan keduaku, pertengkaran mulut mama dan kakakku, keributan sepele antara kakakku dan adikku atau yang lainnya. Papaku bekerja di luar kota. Ya, aku sadar bahwa beliau sangat sibuk untuk mencari nafkah demi memenuhi segala kebutuhan atau bahkan keinginan kami. Dan aku merasa saat ini aku mengambil kebijakan yang salah. Karena melihat pertengkaran -lagi- antara Fauzan dan Randi, adik pertama dan keduaku, aku kehabisan kesabaran. Kemarahanku sudah di ubun-ubun. Aku berteriak memarahi keduanya, hampir saja aku memukul mereka dengan penggaris kayu. Aku tersadar bahwa aku tidak akan mau melakukan kekerasan itu. Aku lampiaskan pukulan itu ke dinding yang menyebabkan penggaris itu terbelah menjadi dua. Aku masuk kamar dan menangis. Aku kecewa untuk kesekian kalinya, kenapa keluargaku seperti ini. Kelihatannya keluarga ini sangat bahagia dengan berbagai kelimpahan harta di dalamnya. Dulu, aku menganggap bahwa dengan banyak harta kita akan bahagia, ternyata tidak sepenuhnya benar.

            Aku mengambil HP dan mengirim sms kepada papaku yang aku tau beliau sedang sibuk bekerja dan aku rasa aku salah.

‘’ Nanti Fauzan masukkan pesantren aja Pa, biar bagus dikit sikapnya! ‘’.
Aku mengirimkan sms itu dengan penuh kemarahan dan gejolak emosi yang sangat tidak stabil. Entahlah. Aku membenci keadaan ini. Aku membenci mereka, orang tuaku yang terlalu sibuk dengan uang mereka yang aku tau itu juga untuk kami. Entah siapa yang harus kusalahkan Mungkin diriku sendiri.
Dan aku sedikit menyesal mengirimkan sms itu kepada Papa. Tapi aku juga yakin bahwa itu yang terbaik, Papa pasti sudah tidak tahu lagi keadaan di rumah ini.
            Rasanya lebih baik aku tinggal di kos-kosan ku yang ada di luar kota. Ya, aku seorang mahasiswi yang belajar di kota orang. Dan itu juga karena keegoan dan kekeraskepalaanku untuk kekeuh ingin pergi dari rumah ini. Aku sudah muak tinggal di rumah yang hampir setiap harinya terasa seperti istana tempat syetan berpesta pora.


            Aku mendengar suara mobil masuk ke halaman rumah. Itu pasti Dila, kakakku. Dia adalah mahasiswi kedokteran semester 7. Aku merasa hanya kebanggaan saja yang didapatnya menjadi mahasiswi kedokteran yang bermobil mewah. Tidak pernah mungkin terpikirkan olehnya untuk sekedar melihat keadaan keluarga. Pergi pagi, pulang malam. Rasanya aku ingin sekali meneriaki wajah sombongnya itu. Entah apa yang disombongkannya aku juga tidak tahu.
Aku masih terus berada di kamarku sambil mendengarkan mp3 surat Yasin. Entahlah, bagiku, mengingat Allah adalah satu-satunya cara menentramkan hati.

            Dia masuk ke dalam rumah yang sedikit berantakan dan berteriak, ‘’Hei..! Apa-apaan ini?? Kenapa berserakan seperti ini?? Shit!!..’’
Aku sangat membenci perkataannya itu. Ia berteriak sangat keras sampai terdengar ke kamarku yang berada di lantai dua. Aku tetap berada di kamarku sambil terus mendengarkan mp3 dan aku menambahkan volume suaranya.
Dia menaiki tangga dan aku merasa dia akan ke kamarku.
DUGDUGDUG!
Aku terkejut. Pintu kamarku diketok sangat keras.
‘’ Bila! Bila! Buka pintunya!! ‘’
Sialan. Pikirku. Tidak punya sopan santun.
Aku mencoba sabar dan menuju pintu untuk membukakan pintunya. Begitu pintu terbuka, kulihat wajahnya dengan penuh kebencian dan kemarahan.
‘’Ngapain aja kamu di kamar, ha? Gak kamu liat apa rumah berserakan kayak gitu? Kamu malah enak-enakan santai di kamar. Ga ada otak kamu, Bila! ‘’.
Aku terkejut mendengar perkataannya. Rasanya saat itu juga ingin kupecahkan kepalanya. Aku menahan emosiku. Sabar..sabar Bila.
‘’Pulang-pulang ke rumah bukannya memperbaiki suasana, sama aja, nambah-nambah beban!’’
Dia kembali mengomel sambil pergi. Aku tidak percaya dia mengatakan seperti itu. Sakit sekali hatiku. Dia kakakku, seharusnya dia memberikan contoh yang baik. Oke, syetan sudah mulai bermain disini. Aku mencoba tahan amarah. Aku tidak mau terulang kebodohan untuk kedua kalinya.
Aku mengingat Kak Nita, murabbiku. Aku tarik nafas panjang dan kukeluarkan perlahan. Apa dia tidak berkaca pada dirinya yang dari tadi aku tidak tahu entah sudah kemana saja dia. Ya, aku baru sampai di rumah tadi malam dari kota tempat aku belajar. Sebenarnya aku terpaksa pulang, tapi karena mama memintaku untuk pulang karena alasan aku membuang-buang uang disana, aku pun pulang dengan berat hati.

            Aku mencoba menetralkan suasana hati. Aku turun ke bawah dan kulihat ruangan memang sangat berserakan. Aku melihat Dila hanya sibuk menelpon ( entah siapa ) sambil tertawa cekikikan. Semakin panas kepalaku melihatnya seperti itu. Rasanya memalukan, jebolan pesantren bersikap layaknya iblis, seorang yang sudah pernah ke Mekkah tidak mendapatkan apa-apa untuk perubahan dirinya. Astaghfirullahaladziim. Terkadang, jika mengingatnya, aku selalu melihat latar belakang dia yang luar biasa. Dia dulunya adalah anak yang manis, juara kelas, hafal berbagai surat Al Quran, pandai berbahasa Arab, dan bahkan orangtuaku selalu membanggakan dia. Tapi sekarang entah apa yang menyebabkan dia berubah menjadi wanita yang sudah tidak bermoral seperti itu. Entah masih solatkah dia?

            Aku mengumpulkan barang-barang yang berserakan di lantai. Aku sapu serpihan kaca akibat gelas yang pecah. AKu bereskan rumah ini layaknya semula.
Aku tidak mendengar suara Fauzan dan Rendi. Ah, aku pun sudah hampir tidak mau peduli dengan mereka, jika tidak mengingat bahwa aku adalah seorang aktivis dakwah di kampus, sudah kucaci maki mereka, dan kubiarkan mereka berada di jalanan sana.

            Sehabis menelpon kulihat Dila mengambil kunci mobil.
‘’Mau kemana, kak?’’ Rasanya begitu berat aku memanggil dia kakak.
Dia melihatku tajam. ‘’Bukan urusanmu!’’ Lalu pergi.
Aku terus beristighfar dan tanpa sadar air mataku mengalir.

            Aku kangen dengan suasana di kampus. Begitu penuh dengan ukhuwah dan cinta. Lebih mudah menghadapi orang lain kurasa daripada menghadapi keluargaku sendiri. Aku menangis mengingat kenangan indah bersama sahabat-sahabatku yang shalihah. Semakin yakin dalam diriku, bahwa terkadang, ikatan ukhuwah itu lebih dari segalanya daripada ikatan darah. Aku mengingat tentang keluargaku.
            Sudah hampir setahun aku tidak berjumpa papa. Waktu kami bertemu tidak jarang tidak pas. Di keluarga, hanya Papa mungkin yang kuhormati. Papa walalupun keras dan cuek, dia selalu mendukungku. Tidak seperti mama yang sibuk mendengar perkataan orang lain. Tidak jarang juga aku laga mulut dengan mama. Aku sedih. Aku selalu bertanya pada Allah, ‘’bagaimana bisa aku menghadapi ini sendirian?’’ Aku selalu meminta Allah menguatkan hatiku, badanku.
Mama adalah seorang wanita karier. Ya, kurasa kami adalah anak-anak yang haus perhatian orang tua sehingga menjadi seperti ini. Aku bertekad, kelak jika aku menjadi orang tua, aku tidak akan membiarkan anakku terbengkalai. Aku ingin mendidik mereka.
Azka Fadhilla, kakakku yang hanya beda 1 tahun denganku. Namanya menunjukkan dia adalah seorang wanita cerdas. Seharusnya seperti itu memang. Kuakui, dalam beberapa bidang dia memang cerdas. Namun sifatnya malah menunjukkan sebaliknya.  Ingin sekali aku melihat dia memakai jilbab menutupi keindahan rambut panjangnya itu. Aku yakin, kelak suatu hari.
Fauzan Syuhada, adik pertamaku yang sekarang sedang berada di bangku SMP kelas 2, adalah seorang anak yang ceria sebenarnya, baik dan penghibur. Tapi jika dia sudah bersama Rendi, sudah seperti anjing dan kucing. Rendi adalah adik terakhirku. Aku tidak begitu menyukainya. Ia sedang duduk di bangku SD kelas 3. Anaknya cengeng, pemalas dan suka membuat keributan.
Aku sendiri adalah anak kedua di keluarga ini. Aku mahasiswi semester 5. Aku melihat buku catatan yang bertuliskan nama yang indah ‘’Rayyan Sabila’’ berarti jalan syurga. Ya, kuharap nama itu memang menjadikanku jalan syurga untuk diri dan keluargaku.
Dulunya aku juga anak yang bandal, egois dan pemberontak. Kurasa sifat itu memang masih ada pada diriku. Namun, semenjak kepindahanku belajar di kota orang, banyak pengalaman dan hidayah yang aku dapatkan disana, sehingga membuatku perlahan bisa disebut sebagai akhwat.

***
            Aku membuka facebookku untuk melihat notifikasi ku. Aku membuka profil dan banyak teman yang mengirimi gambar, baik gambar-gambar yang bermanfaat, juga gambar-gambar yang gak jelas maknanya. Aku ingin melihat kegiatan sesorang. Kutuliskan namanya di kolom search people, lalu kutekan enter. Seketika keluar banyak orang yang bernama seperti dia. Dan namanya berada di posisi paling atas. Segera ku klik namanya untuk melihat profil dan kegiatan yang telah atau baru saja dilakukannya.
Aku memperhatikan semua yang ada di profilnya, statusnya, komenan orang terhadap statusnya, komenan dia terhadap status orang, dll. Aku tau aku kurang kerjaan, tapi aku juga tidak tau mengapa dia begitu special di pikiranku, mungkin belum hatiku. Sebentar melihat-lihat, wajahku menunjukkan ekspresi kesal dan cemburu ketika kulihat banyak wall dari seorang wanita di wall facebooknya. Sepertinya dia begitu menikmati pembicaraan yang sebenarnya tidak penting menurutku. Ah, lagi-lagi aku harus sakit hati dan kenapa harus? Aku segera menekan tulisan log out di ujung halaman facebook. Dan aku menghela nafas sambil membaringkan tubuhku di kasur yang super empuk.
Aku melihat awan begitu biru sedang bercengkrama dengan angin yang bertiup sepoi. Tampak tangkai dari pohon jambu menari-nari riang ditiup mesra oleh angin. Aku tetap terdiam. Aku merenung apakah aku benar-benar mencintainya apa hanya ilusi semata? Jika hanya ilusi, kenapa aku begitu cemburu jika ia asyik bercengkrama dengan wanita lain, namun jika cinta mengapa seolah rasa itu hilang ketika aku asyik bercerita dengannya? Aku pusing dengan perasaan ini, rasanya, aku ingin segera menikah dengan kekasih yang sudah Allah persiapkan untukku, agar tidak ada kegalauan lagi pada hatiku.
            Aku mengambil gelas yang ada di meja di sebelah tempat tidurku. Aku duduk dan perlahan kuteguk air campuran sirup merah dan buah leci yang tergenang oleh air es yang segar. Aku teringat kembali dengan keadaan keluarga yang tidak kunjung berubah sejak 1 tahun aku tidak kembali kesini. Keluarga ini semakin parah keadaannya. Kak Dila yang semakin sibuk dengan keglamorannya, Fauzan dan Rendi yang sangat menikmati pertengakaran bahkan hanya masalah sepele saja, dan mama yang sibuk sendiri sehingga sudah buta dengan keadaan keluarga sekarang. Aku, sebagai seorang anak, seorang aktivis dakwah kampus, bisa berbuat apa jika hanya sendiri seperti ini? Ya, satu-satunya cara, aku hanya bisa diam dan terus berdoa untuk keberkahan keluarga ini. Harapan itu masih ada dan terus ada, kabulkanlah ya Allah.
            Aku turun ke ruangan santai di bawah. Kulihat Rendi sedang menulis sesuatu di meja. Aku mendekatinya dan melihat apa yang sedang dilakukannya.
‘’Ngapain Ren?’’ tanyaku basa-basi.
Aku dan Rendi beda 12 tahun, ya, cukup jauh.
‘’Gambar..ada PR..’’ ucap Rendi terus mewarnai sebuah gambar tanpa melihatku.
Aku cuma melihat gambarannya yang amburadul sebenarnya, tapi untuk anak seusia itu, dia sudah berusaha menjadi anak yang percaya diri dan kreatif tanpa meminta bantuan orang lain mengerjakannya. Aku dan Rendi juga tidak begitu dekat sebagai kakak-adik. Di mata Rendi aku adalah kakak yang cuek mungkin.
***
            Aku melihat ke halaman samping dimana terhampar taman hijau yang indah. Kusyukuri semua nikmat yang telah Allah berikan padaku. Rumah yang besar, mobil mewah dan segala kelengkapan harta, walau aku tau, ini tidak sempurna dengan keadaan keluargaku. Namun aku selalu berfikir bahwa sungguh aku bersyukur masih memiliki keluarga. Aku teringat dengan video anak Palestina yang pernah kutonton di kampus.
Aku mengambil HP dan memasangkan headset di telingaku. Kuhidupkan lagu ‘’Tombo Ati’’ dari Opick. Menenangkan.
            Pintu depan dibuka dan kulihat seseorang masuk. Mama masuk ke dalam rumah bahkan tanpa salam. Aku kembali menghela nafas.
‘’Wah, mama lelah sekali. Bila, kamu mau baju? Nih mama belikan..’’ ucap mama.
Aku senyum kecil. Terkadang aku merasa berdosa atas penilaianku pada keluargaku ketika mereka sudah sangat baik padaku. Sebenarnya tidak ada masalah yang urgent antara mereka padaku, hanya saja masalah antar mereka membuat kepalaku pusing.
Aku melihat baju bluse warna ungu yang cantik.
Aku mengambil baju itu dan mencoba memakainya.
‘’Gimana?’’ tanya mama ketika aku sudah memakai baju itu.
‘’Pas…’’ ucapku bahagia namun kutunjukkan dengan ekspresiku yang biasa. Ya, mungkin ini salah satu kesalahan ekspresi.
Mama menghempaskan tubuhnya di sofa empuk di ruang santai ini. Tampak beliau memang sangat lelah berbelanja. Rasanya aku ingin membuatkannya minum dan memijit tubuhnya. Namun keegoan dan kegengsianku begitu besar. Aku memang canggung dekat mama. Entah apa penyebabnya, rasanya kami bukan seperti ibu dan anak. Aku diam menahan gejolak hati.
Beberapa saat kemudian terdengar suara mobil. Ya, siapa lagi, pasti Dila.
Benar. Dia masuk ke rumah dengan biasa. Melihat kami berkumpul, dia juga ikut duduk bersama kami.
‘’Nih, ada kue…’’ ucap Dila entah pada siapa sebenarnya. Mungkin pada kami semua.
Serentak, mama, aku dan Rendi melihat ke kotak yang dibawanya.
‘’Wah, kue kacang…’’ ucap Rendi sambil mengambil satu potong.
Mama juga ikutan ambil begitu juga aku. Kuenya enak.
Dila pergi ke dapur dan membawa satu ceret air dingin.
Benar, jika mereka baik seperti ini, rasanya aku ingin sekali menarik semua ucapan hatiku terhadap mereka. Oh Allah, jangan pernah biarkan aku menyesal terhadap semua yang telah Engkau berikan.
Dila mengambil remote dan menghidupkan TV.
‘’Apa tu ma?’’ tanya Dila pada mama yang hampir tertidur.
‘’eh? Ha? Baju..itu ada juga baju kamu..’’ ucap mama tidak begitu jelas karena setengah sadar.
Dila membuka plastik belanjaan yang dibawa mama. Dia mengambil sebuah baju bluse warna cream. Sebenarnya baju kami hampir sama modelnya, hanya beda warna.
Dila tertawa. ‘’Sip..sip..mantaap!!!’’ ucapnya.
Aku terus berfikir, mengapa begitu susah mengucapkan terima kasih untuk mama yang telah memberiku baju, Dila yang membelikan kami kue, padahal jika mereka orang lain, lidah ini begitu enteng mengucapkan kata super itu. Astaghfirullahaladziim.
Kelihatannya mungkin aku biasa saja, tapi hatiku sudah terlalu banyak dipenuhi gejolak seperti ini.

***

            Kepalaku kembali hampir pecah lagi ketika melihat Rendi dan Fauzan lagi-lagi bertengkar. Kali ini cukup hebat. Rumah benar-benar banjir dibuat mereka. Dan Rendi trus berteriak dengan kata-kata kotor yang seharusnya tidak pantas diucapkan. Kepalaku sakit mendengar kata-kata itu. Kemarahanku kembali di uji. Aku mencoba menahan diri dengan membersihkan air yang mereka tumpahi. Seperti biasa, mama pergi keluar dan Dila ke kampus.
Oh Tuhan, apa lagi ini. Aku mencoba memberi peringatan pada Fauzan dan Rendi. Fauzan dapat mengerti namun tidak untuk Rendi. Dia malah menyerakkan meja makan dan membanting piring.
‘’Dasar anak kurang ajar!’’ Teriakku lepas. Astaghfirullah. Aku sudah kebablasan melihat sikapnya.
Namun dia terus menyerakkan dan membanting semua barang sampai ke ruang tamu yang membuat dadaku makin sesak dan menahan-nahan amarah.
‘’Serakkan terus Ren! Serakkan! Sekalian hancurin aja rumahnya! Bakar! Memang ga ada otakmu! Udah kayak anak setan!’’ Kemarahanku menjadi-jadi dan aku sadar, syetan sedang bertepuk tangan melihatku. Puas.
Dia makin menjadi-jadi dan aku sudah tidak tahan. Aku memukul badannya pakai tangan dan menepuk kepalanya. Aku sadar perbuatanku memang salah dan aku menyesal. Rendi menangis, namun tidak kugubris. Aku mengurung Rendi di kamar mama. Namun bukannya menyesal, dia malah biasa saja dengan kelengkapan yang ada di kamar mama.
Hatiku semakin panas dan aku menangis karena sakit hati, menyesal telah berkata kasar dan memukul. Seharusnya sebagai seorang muslimah tidak seperti ini yang kulakukan. Aku sudah tidak tahan. Aku tau, aku memang sudah tidak pantas menerima gelar akhwat dan kader dakwah itu. Aku sudah pusing.
            Adzan Ashar berkumandang. Segera aku mengambil handuk dan membasahi diriku dari kepala dengan air yang dingin. Mungkin satu-satunya cara untuk melepas sesak di hati ini adalah dengan mandi dan shalat. Selama shalat, air mataku terus mengucur dan aku terisak-isak. Aku berdoa pada Allah,
‘’Ya Allah ya Rabb..mengapa seperti ini? Aku sudah ga tahan..Aku ga sanggup sendirian seperti ini..Aku mohon ya Allah..tolong, berkahilah keluargaku..Harus sampai kapan ini terjadi?? Apa tunggu Rendi menjadi dewasa..?? Oh Allah, ampunilah aku..ampunilah aku…’’

Air mataku terus mengucur deras. Aku mendengar mama pulang dan pintu kamar tetap ku kunci. Aku ingin sendiri dulu di kamar menenangkan hati. Rasanya aku memang benar-benar ingin mengangkat kaki dari rumah ini.

            Aku membaringkan tubuhku di kasur dan air mataku masih terus mengalir. Aku mencoba mengalihkan hati dengan mendengarkan Ipod. Aku coba menenangkan dan memanage hati. Tiba-tiba sms masuk ke HP ku. Aku buka inbox dan ternyata itu dari Rama, lelaki yang namanya kucari di facebook tadi. Dia bertanya tentang keadaan Finny, temanku dan juga temannya. Sebenarnya tidak masalah, namun karena hatiku yang lagi tidak beres, aku merasa sangat kesal.
‘’Hai, bil. Fini ga ada pulsa ya? Sms ku kok ga dibalas? Bisa cari tau? Penting..’’
Membacanya saja sudah membuat hatiku teriris. Antara cemburu, kesal, marah, semuanya.
Aku membalas singkat,
‘’Mungkin..’’
Aku menghela nafas. Mencoba menetralisir keadaan.
‘’Hm..cari tau ya, soalnya penting banget..’’
Dalam hatiku berkata kenapa dia ga cari tau sendiri aja? Gak tau apa orang lagi kesal?
‘’Ya.’’
Balasku singkat. Sebenarnya aku juga kesal dengan Rama. Aku sudah begitu sayang padanya tapi kurasa dia tidak menyayangiku seperti aku menyayanginya. Ah entahlah. Baru saja Rama membuatku untuk tidak menyayanginya lagi. Cukup.
‘’Thank’s.’’
Aku membiarkan sms itu dan kembali menghela nafas. Ramadhana Fatih adalah salah seorang teman yang hebat menurutku. Baik, ramah dan supel. Dia cukup mengasyikkan dan cerdas. Mungkin aku sedikit mengaguminya sebagai seorang teman yang hebat. Ah, aku sedang tidak ingin membicarakan Rama.
Aku kelelahan dan tertidur.

***
            Aku mengeringkan rambutku sehabis keramas. Kemudian memakai kemeja putih panjang dan rok jeans setumit. Setelah itu aku bercermin dan tak lupa melafalkan doa bercermin, ‘’alhamdulillahi kamaa hasantaa khalqi fahassin khuluuqi’’ yang artinya segala puji bagi Allah yang telah menciptakan rupaku yang cantik maka percantik juga akhlakku. Perlahan aku memoleskan tipis bedak padat dan celak di bawah mata. Kuakui, sebagai seorang gadis beranjak dewasa aku termasuk wanita yang cantik dan menarik. Aku diam di depan cermin sambil terus mensyukuri pemberian Tuhan yang sempurna ini. Sampai aku menyadari sesuatu bahwa cincinku tidak ada di jari manisku. Aku lupa dimana meletakkannya. Aku coba kembali mengingat dan akhirnya aku segera pergi ke westafle samping kamar mandi. Aku menghela nafas lega melihat sebuah cincin tergeletak manis di samping botol tempat sikat gigi.
            Sebuah cincin perak, pemberian seseorang. Ya, mungkin seseorang yang special. Namanya Dimas, Dimas Pramada. Dimas adalah salah satu teman jauhku dan lebih tepatnya mantan tunanganku. Aku sudah sempat bertunangan dengan Dimas setahun yang lalu, namun karena ada sesuatu hal, aku dan Dimas sepakat untuk mengakhiri hubungan kami. Yah, mungkin tidak jodoh. Sakit? Sakit banget rasanya. Aku sudah terlanjur mencintai Dimas, begitu juga dengan Dimas. Kurasa, inilah jalan yang terbaik. Allah masih sayang padaku dan padanya dengan cara memutuskan hubungan yang tidak ada dasarnya dalam Islam itu. Aku bersyukur walaupun masih dihantui kenangan itu. Sekarang, aku tidak tahu kabarnya bagaimana. Mungkin saja dia sudah menemukan wanita yang memang pantas dan merupakan tulang rusuknya. Yah, memang lebih baik aku tidak tahu apa-apa tentang dia, karena mungkin aku belum bisa melupakannya secara utuh. Cincin ini, tentu saja bukan cincin tunangan. Ini hanya pemberian, mungkin yang terakhir dari Dimas sebelum dia pergi ke luar kota. Dia memintaku untuk menjaga baik-baik cincin ini, ya mungkin, bukan lagi kenangan sebagai calon kekasih, namun sebagai sahabat dan tentunya, saudara.
            Aku segera memakai hijab biruku karena aku memang bertekad untuk memakai hijab walaupun di dalam rumah. Bukan karena apa-apa, karena terkadang, ada orang yang tiba-tiba datang, mungkin tukang gas, tukang listrik, dan tukang-tukang lainnya, sehingga aku tidak perlu gelagapan dan repot buka-pakai hijab untuk menemui mereka.
Setelah kurasa penampilanku rapi, aku turun ke ruang bawah. Dan bukan yang pertama, rumah ini memang sangat sepi. Seperti biasa, mama ke kantor, Dila ke kampus, Fauzan dan Rendi sekolah. Aku hanya berdua dengan bibi yang membantu di rumah ini. Aku membuka kulkas dan mengambil potongan buah segar. Aku segera duduk di meja makan yang menghadap ke halaman belakang rumah yang luas dan indah. Aku merenung dan tidak tahu apa yang kurenungi. Aku terus memakan buah itu satu per satu.
HPku berbunyi, sebuah sms masuk ke inboxku. Aku mengambil HP dan membuka inbox. Dari Rama.
‘’Bil, gimana? Udah bisa dihubungi nomor Finny?’’
Untuk kali ini, hatiku biasa, walalupun sedikit cemburu. Sebenarnya ada apa dia dengan Finny? Memang, dalam teman bermainku yang terdiri dari 5 orang, hanya Finny lah yang aku cemburui jika bersama Rama. Padahal ada Dela, Vega, dan Andre.
Aku membalas sms Rama dengan santai,
‘’Iya, HPnya lobet katanya semalem’’
Delivered.
‘’Oh..eh, kamu gimana kabar nih?? Enak donk kumpul bareng keluarga??’’
Dalam hati aku berujar sambil tersenyum kecil. Yah, mungkin tidak seenak dan sehangat yang dibayangkannya. Aku memang selalu hanya menceritakan yang baik tentang keluargaku dan seharusnya memang begitu, bukan?
‘’Baik, begitulah..’’
Aku jawab singkat dan apa adanya sms Rama. Aku heran, disaat aku mulai dapat menetralkan hati dan memanage perasaan, aku kembali diuji dengan Rama dengan keramahannya. Ya, mungkin ujian hati.
‘’Hm..so, kapan kamu balik ke kampus??’’
Aku berfikir sebentar. Rasanya aku sedang malas membayangkan kampus.
‘’Mungkin 2 mingguan lagi..’’
‘’lama amat???’’
‘’Libur semester kan 3 minggu, wajarlah..’’
‘’Ok deh, selamat bersenang-senang ya..’’
‘’Ya.’’

Percakapan diakhiri dengan balasan smsku yang hanya 2 huruf dan 1 titik. Aku kembali memakan buah-buahan yang enak sekali rasanya. Rasanya, aku memang perlu banyak memikirkan banyak hal. Bagaimana cara mengajak keluargaku ke kebaikan, bagaimana memanage diriku yang cemburuan, bagaimana mengajak Dila untuk berjilbab, bagaimana mengubah Rendi menjadi anak penurut dan sopan.




  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar: