Kepalaku sudah hampir pecah setiap kali harus
mendengar teriakan, pertengkaran, keributan di rumahku –yang sudah kuanggap
seperti neraka- ini. Kalau tidak pertengkaran adik pertama dengan keduaku,
pertengkaran mulut mama dan kakakku, keributan sepele antara kakakku dan adikku
atau yang lainnya. Papaku bekerja di luar kota. Ya, aku sadar bahwa beliau
sangat sibuk untuk mencari nafkah demi memenuhi segala kebutuhan atau bahkan
keinginan kami. Dan aku merasa saat ini aku mengambil kebijakan yang salah. Karena
melihat pertengkaran -lagi- antara Fauzan dan Randi, adik pertama dan keduaku,
aku kehabisan kesabaran. Kemarahanku sudah di ubun-ubun. Aku berteriak memarahi
keduanya, hampir saja aku memukul mereka dengan penggaris kayu. Aku tersadar
bahwa aku tidak akan mau melakukan kekerasan itu. Aku lampiaskan pukulan itu ke
dinding yang menyebabkan penggaris itu terbelah menjadi dua. Aku masuk kamar
dan menangis. Aku kecewa untuk kesekian kalinya, kenapa keluargaku seperti ini.
Kelihatannya keluarga ini sangat bahagia dengan berbagai kelimpahan harta di
dalamnya. Dulu, aku menganggap bahwa dengan banyak harta kita akan bahagia,
ternyata tidak sepenuhnya benar.
Aku
mengambil HP dan mengirim sms kepada papaku yang aku tau beliau sedang sibuk
bekerja dan aku rasa aku salah.
‘’ Nanti Fauzan masukkan pesantren aja Pa, biar
bagus dikit sikapnya! ‘’.
Aku mengirimkan sms itu dengan penuh kemarahan dan
gejolak emosi yang sangat tidak stabil. Entahlah. Aku membenci keadaan ini. Aku
membenci mereka, orang tuaku yang terlalu sibuk dengan uang mereka yang aku tau
itu juga untuk kami. Entah siapa yang harus kusalahkan Mungkin diriku sendiri.
Dan aku sedikit menyesal mengirimkan sms itu kepada
Papa. Tapi aku juga yakin bahwa itu yang terbaik, Papa pasti sudah tidak tahu
lagi keadaan di rumah ini.
Rasanya
lebih baik aku tinggal di kos-kosan ku yang ada di luar kota. Ya, aku seorang
mahasiswi yang belajar di kota orang. Dan itu juga karena keegoan dan
kekeraskepalaanku untuk kekeuh ingin
pergi dari rumah ini. Aku sudah muak tinggal di rumah yang hampir setiap
harinya terasa seperti istana tempat syetan berpesta pora.
…
Aku
mendengar suara mobil masuk ke halaman rumah. Itu pasti Dila, kakakku. Dia
adalah mahasiswi kedokteran semester 7. Aku merasa hanya kebanggaan saja yang
didapatnya menjadi mahasiswi kedokteran yang bermobil mewah. Tidak pernah
mungkin terpikirkan olehnya untuk sekedar melihat keadaan keluarga. Pergi pagi,
pulang malam. Rasanya aku ingin sekali meneriaki wajah sombongnya itu. Entah
apa yang disombongkannya aku juga tidak tahu.
Aku masih terus berada di kamarku sambil
mendengarkan mp3 surat Yasin. Entahlah, bagiku, mengingat Allah adalah
satu-satunya cara menentramkan hati.
Dia
masuk ke dalam rumah yang sedikit berantakan dan berteriak, ‘’Hei..! Apa-apaan
ini?? Kenapa berserakan seperti ini?? Shit!!..’’
Aku sangat membenci perkataannya itu. Ia berteriak
sangat keras sampai terdengar ke kamarku yang berada di lantai dua. Aku tetap
berada di kamarku sambil terus mendengarkan mp3 dan aku menambahkan volume
suaranya.
Dia menaiki tangga dan aku merasa dia akan ke
kamarku.
DUGDUGDUG!
Aku terkejut. Pintu kamarku diketok sangat keras.
‘’ Bila! Bila! Buka pintunya!! ‘’
Sialan. Pikirku. Tidak punya sopan santun.
Aku mencoba sabar dan menuju pintu untuk membukakan
pintunya. Begitu pintu terbuka, kulihat wajahnya dengan penuh kebencian dan
kemarahan.
‘’Ngapain aja kamu di kamar, ha? Gak kamu liat apa
rumah berserakan kayak gitu? Kamu malah enak-enakan santai di kamar. Ga ada
otak kamu, Bila! ‘’.
Aku terkejut mendengar perkataannya. Rasanya saat
itu juga ingin kupecahkan kepalanya. Aku menahan emosiku. Sabar..sabar Bila.
‘’Pulang-pulang ke rumah bukannya memperbaiki
suasana, sama aja, nambah-nambah beban!’’
Dia kembali mengomel sambil pergi. Aku tidak percaya
dia mengatakan seperti itu. Sakit sekali hatiku. Dia kakakku, seharusnya dia
memberikan contoh yang baik. Oke, syetan sudah mulai bermain disini. Aku
mencoba tahan amarah. Aku tidak mau terulang kebodohan untuk kedua kalinya.
Aku mengingat Kak Nita, murabbiku. Aku tarik nafas
panjang dan kukeluarkan perlahan. Apa dia tidak berkaca pada dirinya yang dari
tadi aku tidak tahu entah sudah kemana saja dia. Ya, aku baru sampai di rumah
tadi malam dari kota tempat aku belajar. Sebenarnya aku terpaksa pulang, tapi
karena mama memintaku untuk pulang karena alasan aku membuang-buang uang
disana, aku pun pulang dengan berat hati.
Aku
mencoba menetralkan suasana hati. Aku turun ke bawah dan kulihat ruangan memang
sangat berserakan. Aku melihat Dila hanya sibuk menelpon ( entah siapa ) sambil
tertawa cekikikan. Semakin panas kepalaku melihatnya seperti itu. Rasanya
memalukan, jebolan pesantren bersikap layaknya iblis, seorang yang sudah pernah
ke Mekkah tidak mendapatkan apa-apa untuk perubahan dirinya. Astaghfirullahaladziim.
Terkadang, jika mengingatnya, aku selalu melihat latar belakang dia yang luar
biasa. Dia dulunya adalah anak yang manis, juara kelas, hafal berbagai surat Al
Quran, pandai berbahasa Arab, dan bahkan orangtuaku selalu membanggakan dia.
Tapi sekarang entah apa yang menyebabkan dia berubah menjadi wanita yang sudah
tidak bermoral seperti itu. Entah masih solatkah dia?
Aku
mengumpulkan barang-barang yang berserakan di lantai. Aku sapu serpihan kaca
akibat gelas yang pecah. AKu bereskan rumah ini layaknya semula.
Aku tidak mendengar suara Fauzan dan Rendi. Ah, aku
pun sudah hampir tidak mau peduli dengan mereka, jika tidak mengingat bahwa aku
adalah seorang aktivis dakwah di kampus, sudah kucaci maki mereka, dan
kubiarkan mereka berada di jalanan sana.
Sehabis
menelpon kulihat Dila mengambil kunci mobil.
‘’Mau kemana, kak?’’ Rasanya begitu berat aku
memanggil dia kakak.
Dia melihatku tajam. ‘’Bukan urusanmu!’’ Lalu pergi.
Aku terus beristighfar dan tanpa sadar air mataku
mengalir.
…
Aku
kangen dengan suasana di kampus. Begitu penuh dengan ukhuwah dan cinta. Lebih
mudah menghadapi orang lain kurasa daripada menghadapi keluargaku sendiri. Aku
menangis mengingat kenangan indah bersama sahabat-sahabatku yang shalihah.
Semakin yakin dalam diriku, bahwa terkadang, ikatan ukhuwah itu lebih dari
segalanya daripada ikatan darah. Aku mengingat tentang keluargaku.
Sudah
hampir setahun aku tidak berjumpa papa. Waktu kami bertemu tidak jarang tidak
pas. Di keluarga, hanya Papa mungkin yang kuhormati. Papa walalupun keras dan
cuek, dia selalu mendukungku. Tidak seperti mama yang sibuk mendengar perkataan
orang lain. Tidak jarang juga aku laga mulut dengan mama. Aku sedih. Aku selalu
bertanya pada Allah, ‘’bagaimana bisa aku menghadapi ini sendirian?’’ Aku
selalu meminta Allah menguatkan hatiku, badanku.
Mama adalah seorang wanita karier. Ya, kurasa kami
adalah anak-anak yang haus perhatian orang tua sehingga menjadi seperti ini.
Aku bertekad, kelak jika aku menjadi orang tua, aku tidak akan membiarkan
anakku terbengkalai. Aku ingin mendidik mereka.
Azka Fadhilla, kakakku yang hanya beda 1 tahun
denganku. Namanya menunjukkan dia adalah seorang wanita cerdas. Seharusnya
seperti itu memang. Kuakui, dalam beberapa bidang dia memang cerdas. Namun
sifatnya malah menunjukkan sebaliknya.
Ingin sekali aku melihat dia memakai jilbab menutupi keindahan rambut
panjangnya itu. Aku yakin, kelak suatu hari.
Fauzan Syuhada, adik pertamaku yang sekarang sedang
berada di bangku SMP kelas 2, adalah seorang anak yang ceria sebenarnya, baik
dan penghibur. Tapi jika dia sudah bersama Rendi, sudah seperti anjing dan
kucing. Rendi adalah adik terakhirku. Aku tidak begitu menyukainya. Ia sedang
duduk di bangku SD kelas 3. Anaknya cengeng, pemalas dan suka membuat
keributan.
Aku sendiri adalah anak kedua di keluarga ini. Aku
mahasiswi semester 5. Aku melihat buku catatan yang bertuliskan nama yang indah
‘’Rayyan Sabila’’ berarti jalan syurga. Ya, kuharap nama itu memang
menjadikanku jalan syurga untuk diri dan keluargaku.
Dulunya aku juga anak yang bandal, egois dan
pemberontak. Kurasa sifat itu memang masih ada pada diriku. Namun, semenjak
kepindahanku belajar di kota orang, banyak pengalaman dan hidayah yang aku
dapatkan disana, sehingga membuatku perlahan bisa disebut sebagai akhwat.
***
Aku
membuka facebookku untuk melihat notifikasi ku. Aku membuka profil dan banyak
teman yang mengirimi gambar, baik gambar-gambar yang bermanfaat, juga
gambar-gambar yang gak jelas maknanya. Aku ingin melihat kegiatan sesorang.
Kutuliskan namanya di kolom search people,
lalu kutekan enter. Seketika keluar
banyak orang yang bernama seperti dia. Dan namanya berada di posisi paling
atas. Segera ku klik namanya untuk
melihat profil dan kegiatan yang telah atau baru saja dilakukannya.
Aku memperhatikan semua yang ada di profilnya,
statusnya, komenan orang terhadap statusnya, komenan dia terhadap status orang,
dll. Aku tau aku kurang kerjaan, tapi aku juga tidak tau mengapa dia begitu
special di pikiranku, mungkin belum hatiku. Sebentar melihat-lihat, wajahku
menunjukkan ekspresi kesal dan cemburu ketika kulihat banyak wall dari seorang
wanita di wall facebooknya. Sepertinya dia begitu menikmati pembicaraan yang
sebenarnya tidak penting menurutku. Ah, lagi-lagi aku harus sakit hati dan
kenapa harus? Aku segera menekan tulisan log
out di ujung halaman facebook. Dan aku menghela nafas sambil membaringkan
tubuhku di kasur yang super empuk.
Aku melihat awan begitu biru sedang bercengkrama
dengan angin yang bertiup sepoi. Tampak tangkai dari pohon jambu menari-nari
riang ditiup mesra oleh angin. Aku tetap terdiam. Aku merenung apakah aku
benar-benar mencintainya apa hanya ilusi semata? Jika hanya ilusi, kenapa aku
begitu cemburu jika ia asyik bercengkrama dengan wanita lain, namun jika cinta
mengapa seolah rasa itu hilang ketika aku asyik bercerita dengannya? Aku pusing
dengan perasaan ini, rasanya, aku ingin segera menikah dengan kekasih yang
sudah Allah persiapkan untukku, agar tidak ada kegalauan lagi pada hatiku.
Aku
mengambil gelas yang ada di meja di sebelah tempat tidurku. Aku duduk dan
perlahan kuteguk air campuran sirup merah dan buah leci yang tergenang oleh air
es yang segar. Aku teringat kembali dengan keadaan keluarga yang tidak kunjung
berubah sejak 1 tahun aku tidak kembali kesini. Keluarga ini semakin parah
keadaannya. Kak Dila yang semakin sibuk dengan keglamorannya, Fauzan dan Rendi
yang sangat menikmati pertengakaran bahkan hanya masalah sepele saja, dan mama
yang sibuk sendiri sehingga sudah buta dengan keadaan keluarga sekarang. Aku,
sebagai seorang anak, seorang aktivis dakwah kampus, bisa berbuat apa jika
hanya sendiri seperti ini? Ya, satu-satunya cara, aku hanya bisa diam dan terus
berdoa untuk keberkahan keluarga ini. Harapan itu masih ada dan terus ada,
kabulkanlah ya Allah.
Aku
turun ke ruangan santai di bawah. Kulihat Rendi sedang menulis sesuatu di meja.
Aku mendekatinya dan melihat apa yang sedang dilakukannya.
‘’Ngapain Ren?’’ tanyaku basa-basi.
Aku dan Rendi beda 12 tahun, ya, cukup jauh.
‘’Gambar..ada PR..’’ ucap Rendi terus mewarnai
sebuah gambar tanpa melihatku.
Aku cuma melihat gambarannya yang amburadul
sebenarnya, tapi untuk anak seusia itu, dia sudah berusaha menjadi anak yang
percaya diri dan kreatif tanpa meminta bantuan orang lain mengerjakannya. Aku
dan Rendi juga tidak begitu dekat sebagai kakak-adik. Di mata Rendi aku adalah
kakak yang cuek mungkin.
***
Aku
melihat ke halaman samping dimana terhampar taman hijau yang indah. Kusyukuri
semua nikmat yang telah Allah berikan padaku. Rumah yang besar, mobil mewah dan
segala kelengkapan harta, walau aku tau, ini tidak sempurna dengan keadaan
keluargaku. Namun aku selalu berfikir bahwa sungguh aku bersyukur masih
memiliki keluarga. Aku teringat dengan video anak Palestina yang pernah kutonton
di kampus.
Aku mengambil HP dan memasangkan headset di
telingaku. Kuhidupkan lagu ‘’Tombo Ati’’ dari Opick. Menenangkan.
Pintu
depan dibuka dan kulihat seseorang masuk. Mama masuk ke dalam rumah bahkan
tanpa salam. Aku kembali menghela nafas.
‘’Wah, mama lelah sekali. Bila, kamu mau baju? Nih
mama belikan..’’ ucap mama.
Aku senyum kecil. Terkadang aku merasa berdosa atas
penilaianku pada keluargaku ketika mereka sudah sangat baik padaku. Sebenarnya
tidak ada masalah yang urgent antara mereka padaku, hanya saja masalah antar
mereka membuat kepalaku pusing.
Aku melihat baju bluse warna ungu yang cantik.
Aku mengambil baju itu dan mencoba memakainya.
‘’Gimana?’’ tanya mama ketika aku sudah memakai baju
itu.
‘’Pas…’’ ucapku bahagia namun kutunjukkan dengan
ekspresiku yang biasa. Ya, mungkin ini salah satu kesalahan ekspresi.
Mama menghempaskan tubuhnya di sofa empuk di ruang
santai ini. Tampak beliau memang sangat lelah berbelanja. Rasanya aku ingin
membuatkannya minum dan memijit tubuhnya. Namun keegoan dan kegengsianku begitu
besar. Aku memang canggung dekat mama. Entah apa penyebabnya, rasanya kami
bukan seperti ibu dan anak. Aku diam menahan gejolak hati.
Beberapa saat kemudian terdengar suara mobil. Ya,
siapa lagi, pasti Dila.
Benar. Dia masuk ke rumah dengan biasa. Melihat kami
berkumpul, dia juga ikut duduk bersama kami.
‘’Nih, ada kue…’’ ucap Dila entah pada siapa
sebenarnya. Mungkin pada kami semua.
Serentak, mama, aku dan Rendi melihat ke kotak yang
dibawanya.
‘’Wah, kue kacang…’’ ucap Rendi sambil mengambil
satu potong.
Mama juga ikutan ambil begitu juga aku. Kuenya enak.
Dila pergi ke dapur dan membawa satu ceret air
dingin.
Benar, jika mereka baik seperti ini, rasanya aku
ingin sekali menarik semua ucapan hatiku terhadap mereka. Oh Allah, jangan
pernah biarkan aku menyesal terhadap semua yang telah Engkau berikan.
Dila mengambil remote dan menghidupkan TV.
‘’Apa tu ma?’’ tanya Dila pada mama yang hampir
tertidur.
‘’eh? Ha? Baju..itu ada juga baju kamu..’’ ucap mama
tidak begitu jelas karena setengah sadar.
Dila membuka plastik belanjaan yang dibawa mama. Dia
mengambil sebuah baju bluse warna cream. Sebenarnya baju kami hampir sama
modelnya, hanya beda warna.
Dila tertawa. ‘’Sip..sip..mantaap!!!’’ ucapnya.
Aku terus berfikir, mengapa begitu susah mengucapkan
terima kasih untuk mama yang telah memberiku baju, Dila yang membelikan kami
kue, padahal jika mereka orang lain, lidah ini begitu enteng mengucapkan kata
super itu. Astaghfirullahaladziim.
Kelihatannya mungkin aku biasa saja, tapi hatiku
sudah terlalu banyak dipenuhi gejolak seperti ini.
***
Kepalaku
kembali hampir pecah lagi ketika melihat Rendi dan Fauzan lagi-lagi bertengkar.
Kali ini cukup hebat. Rumah benar-benar banjir dibuat mereka. Dan Rendi trus
berteriak dengan kata-kata kotor yang seharusnya tidak pantas diucapkan.
Kepalaku sakit mendengar kata-kata itu. Kemarahanku kembali di uji. Aku mencoba
menahan diri dengan membersihkan air yang mereka tumpahi. Seperti biasa, mama
pergi keluar dan Dila ke kampus.
Oh Tuhan, apa lagi ini. Aku mencoba memberi
peringatan pada Fauzan dan Rendi. Fauzan dapat mengerti namun tidak untuk
Rendi. Dia malah menyerakkan meja makan dan membanting piring.
‘’Dasar anak kurang ajar!’’ Teriakku lepas.
Astaghfirullah. Aku sudah kebablasan melihat sikapnya.
Namun dia terus menyerakkan dan membanting semua
barang sampai ke ruang tamu yang membuat dadaku makin sesak dan menahan-nahan
amarah.
‘’Serakkan terus Ren! Serakkan! Sekalian hancurin
aja rumahnya! Bakar! Memang ga ada otakmu! Udah kayak anak setan!’’ Kemarahanku
menjadi-jadi dan aku sadar, syetan sedang bertepuk tangan melihatku. Puas.
Dia makin menjadi-jadi dan aku sudah tidak tahan.
Aku memukul badannya pakai tangan dan menepuk kepalanya. Aku sadar perbuatanku
memang salah dan aku menyesal. Rendi menangis, namun tidak kugubris. Aku
mengurung Rendi di kamar mama. Namun bukannya menyesal, dia malah biasa saja
dengan kelengkapan yang ada di kamar mama.
Hatiku semakin panas dan aku menangis karena sakit
hati, menyesal telah berkata kasar dan memukul. Seharusnya sebagai seorang
muslimah tidak seperti ini yang kulakukan. Aku sudah tidak tahan. Aku tau, aku
memang sudah tidak pantas menerima gelar akhwat dan kader dakwah itu. Aku sudah
pusing.
Adzan
Ashar berkumandang. Segera aku mengambil handuk dan membasahi diriku dari
kepala dengan air yang dingin. Mungkin satu-satunya cara untuk melepas sesak di
hati ini adalah dengan mandi dan shalat. Selama shalat, air mataku terus
mengucur dan aku terisak-isak. Aku berdoa pada Allah,
‘’Ya Allah ya Rabb..mengapa seperti ini? Aku sudah
ga tahan..Aku ga sanggup sendirian seperti ini..Aku mohon ya Allah..tolong,
berkahilah keluargaku..Harus sampai kapan ini terjadi?? Apa tunggu Rendi
menjadi dewasa..?? Oh Allah, ampunilah aku..ampunilah aku…’’
Air mataku terus mengucur deras. Aku mendengar mama
pulang dan pintu kamar tetap ku kunci. Aku ingin sendiri dulu di kamar
menenangkan hati. Rasanya aku memang benar-benar ingin mengangkat kaki dari
rumah ini.
Aku
membaringkan tubuhku di kasur dan air mataku masih terus mengalir. Aku mencoba
mengalihkan hati dengan mendengarkan Ipod. Aku coba menenangkan dan memanage
hati. Tiba-tiba sms masuk ke HP ku. Aku buka inbox dan ternyata itu dari Rama,
lelaki yang namanya kucari di facebook tadi. Dia bertanya tentang keadaan Finny,
temanku dan juga temannya. Sebenarnya tidak masalah, namun karena hatiku yang
lagi tidak beres, aku merasa sangat kesal.
‘’Hai, bil. Fini ga ada pulsa ya? Sms ku kok ga
dibalas? Bisa cari tau? Penting..’’
Membacanya saja sudah membuat hatiku teriris. Antara
cemburu, kesal, marah, semuanya.
Aku membalas singkat,
‘’Mungkin..’’
Aku menghela nafas. Mencoba menetralisir keadaan.
‘’Hm..cari tau ya, soalnya penting banget..’’
Dalam hatiku berkata kenapa dia ga cari tau sendiri
aja? Gak tau apa orang lagi kesal?
‘’Ya.’’
Balasku singkat. Sebenarnya aku juga kesal dengan
Rama. Aku sudah begitu sayang padanya tapi kurasa dia tidak menyayangiku
seperti aku menyayanginya. Ah entahlah. Baru saja Rama membuatku untuk tidak
menyayanginya lagi. Cukup.
‘’Thank’s.’’
Aku membiarkan sms itu dan kembali menghela nafas. Ramadhana
Fatih adalah salah seorang teman yang hebat menurutku. Baik, ramah dan supel.
Dia cukup mengasyikkan dan cerdas. Mungkin aku sedikit mengaguminya sebagai
seorang teman yang hebat. Ah, aku sedang tidak ingin membicarakan Rama.
Aku kelelahan dan tertidur.
***
Aku
mengeringkan rambutku sehabis keramas. Kemudian memakai kemeja putih panjang
dan rok jeans setumit. Setelah itu aku bercermin dan tak lupa melafalkan doa
bercermin, ‘’alhamdulillahi kamaa
hasantaa khalqi fahassin khuluuqi’’ yang artinya segala puji bagi Allah
yang telah menciptakan rupaku yang cantik maka percantik juga akhlakku.
Perlahan aku memoleskan tipis bedak padat dan celak di bawah mata. Kuakui,
sebagai seorang gadis beranjak dewasa aku termasuk wanita yang cantik dan
menarik. Aku diam di depan cermin sambil terus mensyukuri pemberian Tuhan yang
sempurna ini. Sampai aku menyadari sesuatu bahwa cincinku tidak ada di jari
manisku. Aku lupa dimana meletakkannya. Aku coba kembali mengingat dan akhirnya
aku segera pergi ke westafle samping kamar mandi. Aku menghela nafas lega
melihat sebuah cincin tergeletak manis di samping botol tempat sikat gigi.
Sebuah
cincin perak, pemberian seseorang. Ya, mungkin seseorang yang special. Namanya
Dimas, Dimas Pramada. Dimas adalah salah satu teman jauhku dan lebih tepatnya
mantan tunanganku. Aku sudah sempat bertunangan dengan Dimas setahun yang lalu,
namun karena ada sesuatu hal, aku dan Dimas sepakat untuk mengakhiri hubungan
kami. Yah, mungkin tidak jodoh. Sakit? Sakit banget rasanya. Aku sudah
terlanjur mencintai Dimas, begitu juga dengan Dimas. Kurasa, inilah jalan yang
terbaik. Allah masih sayang padaku dan padanya dengan cara memutuskan hubungan
yang tidak ada dasarnya dalam Islam itu. Aku bersyukur walaupun masih dihantui
kenangan itu. Sekarang, aku tidak tahu kabarnya bagaimana. Mungkin saja dia
sudah menemukan wanita yang memang pantas dan merupakan tulang rusuknya. Yah,
memang lebih baik aku tidak tahu apa-apa tentang dia, karena mungkin aku belum
bisa melupakannya secara utuh. Cincin ini, tentu saja bukan cincin tunangan.
Ini hanya pemberian, mungkin yang terakhir dari Dimas sebelum dia pergi ke luar
kota. Dia memintaku untuk menjaga baik-baik cincin ini, ya mungkin, bukan lagi
kenangan sebagai calon kekasih, namun sebagai sahabat dan tentunya, saudara.
Aku
segera memakai hijab biruku karena aku memang bertekad untuk memakai hijab
walaupun di dalam rumah. Bukan karena apa-apa, karena terkadang, ada orang yang
tiba-tiba datang, mungkin tukang gas, tukang listrik, dan tukang-tukang
lainnya, sehingga aku tidak perlu gelagapan dan repot buka-pakai hijab untuk
menemui mereka.
Setelah kurasa penampilanku rapi, aku turun ke ruang
bawah. Dan bukan yang pertama, rumah ini memang sangat sepi. Seperti biasa,
mama ke kantor, Dila ke kampus, Fauzan dan Rendi sekolah. Aku hanya berdua
dengan bibi yang membantu di rumah ini. Aku membuka kulkas dan mengambil
potongan buah segar. Aku segera duduk di meja makan yang menghadap ke halaman
belakang rumah yang luas dan indah. Aku merenung dan tidak tahu apa yang
kurenungi. Aku terus memakan buah itu satu per satu.
HPku berbunyi, sebuah sms masuk ke inboxku. Aku
mengambil HP dan membuka inbox. Dari Rama.
‘’Bil, gimana? Udah bisa dihubungi nomor Finny?’’
Untuk kali ini, hatiku biasa, walalupun sedikit
cemburu. Sebenarnya ada apa dia dengan Finny? Memang, dalam teman bermainku
yang terdiri dari 5 orang, hanya Finny lah yang aku cemburui jika bersama Rama.
Padahal ada Dela, Vega, dan Andre.
Aku membalas sms Rama dengan santai,
‘’Iya, HPnya lobet katanya semalem’’
Delivered.
‘’Oh..eh, kamu gimana kabar nih?? Enak donk kumpul
bareng keluarga??’’
Dalam hati aku berujar sambil tersenyum kecil. Yah,
mungkin tidak seenak dan sehangat yang dibayangkannya. Aku memang selalu hanya
menceritakan yang baik tentang keluargaku dan seharusnya memang begitu, bukan?
‘’Baik, begitulah..’’
Aku jawab singkat dan apa adanya sms Rama. Aku
heran, disaat aku mulai dapat menetralkan hati dan memanage perasaan, aku
kembali diuji dengan Rama dengan keramahannya. Ya, mungkin ujian hati.
‘’Hm..so, kapan kamu balik ke kampus??’’
Aku berfikir sebentar. Rasanya aku sedang malas membayangkan
kampus.
‘’Mungkin 2 mingguan lagi..’’
‘’lama amat???’’
‘’Libur semester kan 3 minggu, wajarlah..’’
‘’Ok deh, selamat bersenang-senang ya..’’
‘’Ya.’’
Percakapan diakhiri dengan balasan smsku yang hanya
2 huruf dan 1 titik. Aku kembali memakan buah-buahan yang enak sekali rasanya.
Rasanya, aku memang perlu banyak memikirkan banyak hal. Bagaimana cara mengajak
keluargaku ke kebaikan, bagaimana memanage diriku yang cemburuan, bagaimana mengajak
Dila untuk berjilbab, bagaimana mengubah Rendi menjadi anak penurut dan sopan.
0 komentar:
Posting Komentar